Liputan6.com, Jakarta - Sumber yang kredibel dan akurat menjadi acuan untuk dapat memberikan konten berbobot, sehingga bermanfaat untuk masyarakat. Menjelajahi fakta juga menjadi salah satu cara untuk mengetahui apakah informasi tersebut benar adanya atau tidak.
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesia Digital Association (IDA) bersama Tempo.co, MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dan didukung oleh platform periklanan MGID, belum lama ini, menyimpulkan perlunya kita menghindari kesalahpahaman dari isi konten yang telah dibuat untuk publik.
Baca Juga
Project Officer Program Media & Pemeriksa Fakta MAFINDO, Dedy Helsyanto, menjelaskan bahwa yang menjadi tantangan dari dahulu dan sekarang adalah etika periklanan khususnya di media digital.
Advertisement
Ia juga menjelaskan bagaimana caranya agar kita tidak menyebarkan berita bohong (hoaks) atau kekacauan informasi dalam bentuk apapun, yang dapat merugikan orang lain.
"Sedikit rekomendasi dari saya, kuncinya adalah meningkatkan literasi media," ujar Dedy memberikan tips untuk mengurangi hoaks agar tidak tersebar luas.
Ia menyebut melihat 10 negara dengan tingkat kepercayaan terhadap media, Indonesia berada di peringkat kedua.
"Artinya kondisi hari ini kepercayaan terhadap media itu terus meningkat atas usaha dari teman-teman yang berkecimpung dalam ekosistem media, meskipun begitu, ada tantangan-tantangan seperti hoaks yang berkaitan dengan iklan," ucapnya menambahkan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kekacauan Informasi
Lebih lanjut, kekacauan informasi terdiri dari tiga jenis yaitu misinformasi, disinformasi, dan mal informasi. Misinformasi adalah penyebaran informasi yang tidak diketahui kebenaran isinya.
Kemudian disinformasi adalah penyebar yang mengetahui bahwa informasi itu keliru namun tetap disebarkan. Sedangkan untuk mal-informasi yaitu penyebaran informasi yang digunakan untuk menjatuhkan seseorang atau sebuah pihak.
"Dalam bahasa sehari-hari kita sebutnya hoaks,” ujar Wahyu Dhyatmika selaku CEO Tempo.co.
Situasi kepercayaan publik kepada media informasi sedang dipertaruhkan, karena bangunan ekosistem informasi bisa rubuh jika masyarakat tidak percaya lagi kepada media yang menyiarkan media berbasis jurnalistik.
"Kalau publisher memuat konten misleading news, sebetulnya ranahnya sudah clear. Dia bisa diadukan ke dewan pers, kemudian harus mencabut pemberitaan itu, mengoreksi, meminta maaf, dan harus membersihkan konten news dari misinformasi tersebut," papar Wahyu.
"Jadi, alur penyelesaiannya, solusinya jelas. Jika ada media yang secara keliru menyiarkan misinformasi, maka jalurnya adalah ke dewan pers," sambungnya.
Dalam iklan, tampaknya belum ada kesepahaman mengenai hal tersebut, dimana banyak konten iklan yang mengelabui publik. Berbeda dengan pemberitaan, ranah untuk mengadili kendala tersebut bisa langsung diatur oleh Dewan Pers.
"Sementara kalau di iklan, ini merupakan sebuah wilayah yang abu-abu, jadi menggelitik kami, bagaimana sebenarnya aturannya?," tambah Wahyu mengenai perihal hoaks.
Advertisement
Kualitas Iklan yang Baik
Selain itu, Moch Rifki dari MGID juga turut memaparkan bagaimana kualitas iklan yang baik untuk disampaikan kepada publik.
“Iklan yang ada di low quality content environment mempunyai konsekuensi yang cukup perlu diperhatikan. Di Indonesia, sebanyak 90 persen konsumen merasa terganggu saat ada brand yang muncul bersebelahan dengan low quality content,” katanya.
Native Ads memiliki pertumbuhan yang signifikan selama 5 tahun terakhir di Indonesia karena lebih baik daripada standar SBM dan digunakan terus menerus untuk mempromosikan iklan.
Untuk menghasilkan konten iklan yang berkualitas, maka media harus bisa menganalisa suatu konten dengan seksama.
Infografis Geger Akun Penyebar Hoaks di YouTube
Advertisement