Liputan6.com, Jakarta - Selain menerima pendanaan dari investor, sejumlah startup digital yang sudah mapan umumnya akan melakukan investasi.
Sebagai contoh, Bukalapak yang berinvestasi di Allo Bank, Gojek dan Grab yang menyuntikkan dana ke LinkAja, serta Akulaku yang membeli saham Bank Neo.
Baca Juga
Saham yang dibeli oleh perusahaan digital tersebut terbilang tidak terlalu besar, tapi mereka tetap tertarik untuk berinvestasi di perusahaan yang sudah berjalan baik.
Advertisement
Menurut Founder OMG Creative Consulting, Yoris Sebastian, Investasi yang dilakukan perusahaan digital merupakan hal yang biasa dilakukan oleh perusahaan digital, baik yang ada di dalam negeri maupun global.
"Jika dahulu eranya satu perusahaan dipegang secara besar atau mayoritas, namun kini eranya kepemilikan saham di satu perusahaan jumlahnya kecil dan dipegang oleh banyak investor," kata Yoris, dikutip Sabtu (21/5/2022).
Pria yang juga dikenal sebagai pengamat gaya hidup dan digital marketing itu menilai investasi yang dilakukan oleh perusahaan digital tersebut mencontoh Google yang berinvestasi di berbagai perusahaan yang sudah berjalan.
Yoris memperkirakan tujuan dari perusahaan digital itu untuk melakukan investasi di perusahaan lain adalah untuk menguasai pasar dan membuat ekosistem digital yang lebih besar dan kuat.
"Biasanya pemilik dari perusahaan yang diakusisi dijadikan komisaris. Seperti Tokopedia yang mengakusisi Bridestory dan Parentstory. Pendiri tetap menjadi pemegang saham minioritas bersama dengan pemegang saham minoritas lainnya," paparnya.
Namun, ia melanjutkan, investor tetap mempercayakan jalannya perusahaan kepada pendirinya. Investor membeli karena founder-nya, bukan idenya semata. Investor tersebut tetap membutuhkan founder-nya untuk membesarkan perusahaan.Â
Langkah perusahaan digital yang membeli beberapa saham perusahaan disebut Yoris sebagai salah satu langkah coopetition (bekerjasama), bukan competition (bersaing satu dengan yang lainnya).
"Banyak perusahaan digital global saat ini melakukan coopetition dibandingkan competition, sehingga tujuan lain dari akusisi ini adalah menguragi perang harga yang tidak sehat. Hal ini menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan besar," ucapnya.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mengurangi Persaingan
Ia mengatakan semakin besar potensi perusahaan tersebut tumbuh dan founder-nya memiliki visi yang bagus, maka akan banyak pemegang saham yang memegang saham perusahaan tersebut.
"Masuk di jumlah saham yang kecil dirasa sebagian investor cukup untuk membuat ekosistem dan mengurangi competition. Sehingga yang diincar adalah strategic business dari perusahaan yang dibeli," terang Yoris.
Investment company pemerintah Singapura, kata Yoris, melakukan akuisisi perusahaan rintisan di Silicon Valley. Perusahaan dan pendirinya yang diambil tidak dikenal sama sekali. Namun karena idenya bagus, mereka masuk sebagai angel capital di perusahaan startup tersebut dengan kepemilikan saham 7%.
Startup yang dibiayai tersebut ketika ingin mengembangkan usahanya di Asia, harus membuka kantor dan membayar pajak di Singapura.
"Lihat Astra dan Telkomsel yang masuk ke Gojek. Industri film Korea juga membeli saham jaringan bioskop terbesar di Indonesia. Saat ini investor melakukan investasi melihat strategic business dari perusahaan digital tersebut di masa depan dan potensi kolaborasi yang bisa dibentuk. Jadi jangan hanya lihat jumlah saham yang kecil," tutur pria kelahiran Makassar, 5 Agustus 1972.
Meski industri capital market global dan Indonesia tengah mengalami tekanan akibat kenaikan suku bunga FED, Yoris melihat peluang perusahaan teknologi di Indonesia masih terbuka sangat luas.
Yoris mengakui saat ini angel investor yang akan masuk ke perusahaan digital jauh lebih berhati-hati dengan melihat rencana bisnisnya.
"Mereka akan menghindari perusahaan rintisan yang masih membakar uang. Saat ini angel investor banyak mencari perusahaan yang memiliki rencana bisnis jelas," kata Yoris.
Agar mencapai keuntungan yang maksimal, menurut Yoris, investasi atau akuisisi saham yang dilakukan oleh perusahaan digital tersebut harus memiliki visi investasi jangka panjang, bukan best short term investment.
"Coba kamu lihat BCA dan ASTRA yang masuk ke perusahaan startup. Apakah mereka sekarang keluar? Bahkan Group Djarum sampai saat ini masih menjadi pemegang saham pengendali dan tak akan mau melepaskan BCA, karena mereka melihat perusahaan yang mereka invest memiliki potensi bisnis di masa mendatang," Yoris memungkaskan.
Â
Advertisement
Peneliti CfDS: Investasi BUMN ke Startup Digital Akan Cetak Nilai Sinergi Tinggi
Di sisi lain, menurut laporan e-Conomy SEA 2021 yang dikeluarkan Google, Bain & Company menyebut Indonesia memiliki potensi pertumbuhan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
Potensi ekonomi digital Indonesia bahkan diprediksi bisa mencapai US$ 146 miliar atau sekitar Rp 2.138 triliun pada 2025.
Potensi ini kemudian membuat perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepincut untuk berinvestasi di perusahaan digital.
Menteri BUMN Erick Thohir bahkan sampai membuat Merah Putih Fund untuk mengakomodasi perusahaan rintisan (startup) digital nasional guna mendapatkan pendanaan dari perusahaan BUMN.
Peneliti dari Center for Digital Society (CfDS), Anisa Pratita Kirana Mantovani, menilai wajar kalau perusahaan swasta dan BUMN berinvestasi di perusahaan digital.
Menurutnya investasi di perusahaan/startup digital yang dilakukan swasta dan BUMN ini diharapkan dapat menjadi solusi digital yang lengkap dengan nilai sinergi (synergy value) yang cukup tinggi.
Investasi ini bisa dikatakan sebagai bagian dari strategi digitalisasi besar yang dilakukan oleh swasta dan BUMN di industri digital.
"Investasi yang dilakukan swasta dan BUMN di perusahaan/startup teknologi pasti sudah melalui penilaian risk management yang ketat," kata Anisa, dikutip Selasa (17/5/2022).
"Tujuan utama investasi di perusahaan digital yang dilakukan adalah untuk mencari nilai tambah, sehingga perusahaan swasta dan BUMN tadi memiliki bisnis lain di luar bisnis intinya yang selama ini sudah mereka jalankan," sambungnya.
Anisa memberikan contoh, investasi yang dilakukan Telkomsel di GoTo menciptakan kolaborasi yang bersifat strategis.
Antara lain berupa program khusus untuk mitra Gojek, easy on boarding mitra Gojek untuk menjadi reseller Telkomsel, akses mudah di GoShop, dan fitur seperti number masking.
Dampak Melemahnya Harga Saham di Bursa
Saat ini investasi yang ditanamkan investor di perusahaan digital mengalami penyusutan. Penurunan ini disebabkan terkoreksinya harga saham perusahaan digital yang sahamnya dicatatkan di bursa global maupun regional.
Melemahnya harga saham perusahaan di bursa ini tentu saja membawa dampak terhadap valuasi investasi perusahaan swasta nasional dan BUMN.
Penurunan dari nilai saham di pasar modal dinilai Anisa merupakan hal yang lumrah terjadi. Karakteristik harga saham di seluruh bursa saham akan mengalami perubahan ketika ada sentimen yang mempengaruhinya, baik itu sentimen positif maupun negatif.
Karena saat bursa global dan regional masih dibayangi dengan rencana FED menaikkan suku bunga, dalam jangka pendek koreksi harga saham masih akan terjadi.
"Jika sentimen tersebut sudah berkurang, saham-saham yang telah mengalami koreksi tadi berpotensi akan mengalami kenaikan, termasuk saham-saham di perusahaan digital," ujar Anisa.
Ia berpendapat performa perusahaan digital di Indonesia masih dapat meningkat dan berkembang. Mereka masih on the right track, utamanya sebagai katalisator transformasi digital Indonesia.
Advertisement