Sukses

IDA Gelar Halal Bihalal dan Ngobrol Santai Kupas Soal Attention Metrics

IDA (Indonesia Digital Association) baru saja menggelar acara halal bihalal antar anggotanya dan disertai dengan sesi ngobrol santai mengenai topik attention metrics.

Liputan6.com, Jakarta - IDA (Indonesia Digital Association) baru saja menggelar acara halal bihalal antar anggotanya pada Selasa (24/5/2022). Selain halal bihalal, acara tersebut juga diisi dengan sesi ngobrol santai mengenai topik terkini di dunia digital marketing.

Dalam event kali ini, topik yang menjadi perbincangan adalah attention metrics. Perlu diketahui, attention metrics mengacu pada data point terhadap visitor attention, baik itu media placement dan juga kreatif pada iklan itu sendiri.

Menurut Vice Chairman IDA, Sundjoyo S, setelah Google menghapus cookies, iklan yang ditampilkan sulit untuk diukur. Karenanya, attention metrics menjadi metode pengukuran yang baru dan bisa diterapkan dalam waktu dekat.

"Attention menjadi penting karena marketer menyadari adanya perbedaan dengan iklan yang muncul dan iklan yang terlihat, serta dampaknya terhadap peningkatan atau penurunan pada brand awareness," tutur Sundjoyo.

Lebih lanjut disebutkan pula beberapa komponen yang ada dari attention metrics mencakup time in view, real estate, hovers, quartile completions, serta volume.

Disebutkan pula, mayoritas orang mengacu pada visual ketika membahas attention, tapi sebenarnya juga terdapat faktor listening, considering, something, atau durasi.

Studi juga menujukkan attention pada sebuah iklan bisa memberikan hasil tiga kali efektif dibandingkan dengan sekadar terlihat (viewable). Dalam hal ini, viewability menjadi tidak cukup mengukur keefektifan sebuah iklan.

"Di attention, viewability tidak cukup, kuncinya adalah kreativitas," tutur Measurement & Industry Standard IDA, Moch. Rifki. Karenanya, dampak creative iklan yang bagus akan menghasilkan efektivitas pada sebuah kampanye.

Sebagai informasi, data menujukkan 17 persen kesuksesan iklan (brand recall) dipengaruhi oleh baik atau buruknya sebuah kreatif. Selebihnya, pada sebuah A/B testing, optimisasi pada kreatif iklan menghasilkan 49 persen attention yang lebih tinggi dibandingkan versi original iklan tersebut.

Pada event tersebut, beberapa pembicara yang juga ikut membahas topik attention metrics adalah Head of Programmatic Emtek Digital, Hesty Utami; GM Business Development Innity Indonesia, Nadya Rosalia; serta Education & Knowledge IDA, Ramya Prajna S.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Perlunya Membuat Konten dan Iklan Berbobot yang Sesuai Fakta

Di sisi lain, sumber yang kredibel dan akurat menjadi acuan untuk dapat memberikan konten berbobot, sehingga bermanfaat untuk masyarakat. Menjelajahi fakta juga menjadi salah satu cara untuk mengetahui apakah informasi tersebut benar adanya atau tidak.

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesia Digital Association (IDA) bersama Tempo.co, MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dan didukung oleh platform periklanan MGID, belum lama ini, menyimpulkan perlunya kita menghindari kesalahpahaman dari isi konten yang telah dibuat untuk publik.

Project Officer Program Media & Pemeriksa Fakta MAFINDO, Dedy Helsyanto, menjelaskan yang menjadi tantangan dari dahulu dan sekarang adalah etika periklanan khususnya di media digital.

Ia juga menjelaskan bagaimana caranya agar kita tidak menyebarkan berita bohong (hoaks) atau kekacauan informasi dalam bentuk apapun, yang dapat merugikan orang lain.

"Sedikit rekomendasi dari saya, kuncinya adalah meningkatkan literasi media," ujar Dedy memberikan tips untuk mengurangi hoaks agar tidak tersebar luas.

Ia menyebut melihat 10 negara dengan tingkat kepercayaan terhadap media, Indonesia berada di peringkat kedua.

"Artinya kondisi hari ini kepercayaan terhadap media itu terus meningkat atas usaha dari teman-teman yang berkecimpung dalam ekosistem media, meskipun begitu, ada tantangan-tantangan seperti hoaks yang berkaitan dengan iklan," ucapnya menambahkan.

3 dari 4 halaman

Kekacauan Informasi

Lebih lanjut, kekacauan informasi terdiri dari tiga jenis yaitu misinformasi, disinformasi, dan mal informasi. Misinformasi adalah penyebaran informasi yang tidak diketahui kebenaran isinya.

Kemudian disinformasi adalah penyebar yang mengetahui bahwa informasi itu keliru namun tetap disebarkan. Sedangkan untuk mal-informasi yaitu penyebaran informasi yang digunakan untuk menjatuhkan seseorang atau sebuah pihak.

"Dalam bahasa sehari-hari kita sebutnya hoaks,” ujar Wahyu Dhyatmika selaku CEO Tempo.co.

Situasi kepercayaan publik kepada media informasi sedang dipertaruhkan, karena bangunan ekosistem informasi bisa rubuh jika masyarakat tidak percaya lagi kepada media yang menyiarkan media berbasis jurnalistik.

"Kalau publisher memuat konten misleading news, sebetulnya ranahnya sudah clear. Dia bisa diadukan ke dewan pers, kemudian harus mencabut pemberitaan itu, mengoreksi, meminta maaf, dan harus membersihkan konten news dari misinformasi tersebut," papar Wahyu.

"Jadi, alur penyelesaiannya, solusinya jelas. Jika ada media yang secara keliru menyiarkan misinformasi, maka jalurnya adalah ke dewan pers," sambungnya.

Dalam iklan, tampaknya belum ada kesepahaman mengenai hal tersebut, dimana banyak konten iklan yang mengelabui publik. Berbeda dengan pemberitaan, ranah untuk mengadili kendala tersebut bisa langsung diatur oleh Dewan Pers.

"Sementara kalau di iklan, ini merupakan sebuah wilayah yang abu-abu, jadi menggelitik kami, bagaimana sebenarnya aturannya?," tambah Wahyu mengenai perihal hoaks.

4 dari 4 halaman

Kualitas Iklan yang Baik

Selain itu, Moch Rifki dari MGID juga turut memaparkan bagaimana kualitas iklan yang baik untuk disampaikan kepada publik.

“Iklan yang ada di low quality content environment mempunyai konsekuensi yang cukup perlu diperhatikan. Di Indonesia, sebanyak 90 persen konsumen merasa terganggu saat ada brand yang muncul bersebelahan dengan low quality content,” katanya.

Native Ads memiliki pertumbuhan yang signifikan selama 5 tahun terakhir di Indonesia karena lebih baik daripada standar SBM dan digunakan terus menerus untuk mempromosikan iklan.

Untuk menghasilkan konten iklan yang berkualitas, maka media harus bisa menganalisa suatu konten dengan seksama. 

(Dam/Ysl)