Liputan6.com, Jakarta - Menjelang batas akhir pendaftaran PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) di Kemenkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika), sejumlah nama besar penyedia layanan asing terus bertambah.
Mengutip informasi dari laman PSE Kemkominfo (19/7/2022), sejumlah PSE asing kini sudah mendaftarkan layanannya. Setelah Telegram dipastikan terdaftar, platform streaming Netflix juga kini diketahui masuk sebagai PSE asing terdaftar.
Baca Juga
Selain itu, ada pula Discord dan Netease Game. Terbaru, giliran raksasa media sosial Facebook dan Instagram kini juga sudah sebagai PSE asing yang terdaftar.
Advertisement
Seperti tertulis di situs tersebut, Facebook Singapore PTE. LTD mendaftarkan nama sistem Instagram, Instagram.com, Facebook, dan Facebook.com. Lalu, PSE asing lain yang juga sudah terdaftar sebelumnya adalah TikTok, Linktree, hingga Spotify, termasuk Moonton dan Garena.
Kendati demikian, hingga berita ini ditayangkan, PSE asing lain, seperti Google dan Twitter belum masuk dalam daftar. WhatsApp yang juga merupakan bagian dari keluarga Facebook belum terlihat.
Mengingat masih ada batas pendaftaran hingga satu hari lagi, ada kemungkinan nama-nama besar tersebut akan ikut masuk dalam daftar PSE asing yang terdaftar di Kemkominfo.
Di sisi lain, Kemkominfo menyatakan PSE yang belum terdaftar sampai 20 Juli 2022 tidak akan langsung diblokir. Pernyataan ini sekaligus menjawab maraknya kabar yang menyebut layanan yang tidak terdaftar hingga 20 Juli 2022 akan diblokir.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan menuturkan, pihaknya akan menerapkan sanksi yang bertahap kepada platform digital, apabila belum mendaftar sampai tenggat waktu.
"Sanksi itu diberikan oleh Menteri (Menkominfo Johnny G. Plate). Kalau menteri sudah buat statement, jadi nanti kita berikan masukan ada niatan tidak," kata Semuel dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (19/7/2022).
Semuel juga mengatakan, kementerian akan melihat terlebih dulu platform-platform digital dengan lalu lintas atau traffic besar di Indonesia.
"Terkait sanksi itu hak prerogatif menteri dan itu ada tahapannya, dari teguran tertulis, peringatan, habis itu ada sanksi denda, dan terakhir adalah pemblokiran," imbuh Semuel.
"Jadi kita bilang batas waktunya kan tanggal 20 jam 23.59, 21-nya jam kerja akan kita review, mereka (yang belum daftar) akan kena sanksi. Sanksinya ada tiga: teguran, tertulis, denda, atau pemutusan sementara," tegasnya.
Meski begitu, Semuel tidak menyebutkan berapa jarak waktu yang diberikan untuk platform melakukan pendaftaran setelah mendapatkan teguran, atau berapa denda yang akan dikenakan.
Oleh sebab itu, per 21 Juli 2022, setelah tenggat waktu pendaftaran PSE, Kemkominfo bakal mulai menyurati platform-platform digital yang belum mendaftar ke Kominfo.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pendaftaran PSE Akan Terus Dibuka
Lebih lanjut, menurut Semuel, bagi PSE yang baru muncul atau baru dirilis setelah tanggal 20 Juli 2022, Kominfo masih membuka pendaftaran. "Jadi mereka sebelum beroperasi bisa mendaftarkan. Kami terbuka terus," ujarnya.
Selain itu, PSE yang diblokir pun juga masih bisa mencabut pemblokiran dengan cara melakukan pendaftaran. Sehingga, pemblokiran yang diterapkan pada sebuah platform sifatnya tidak permanen.
"Semua pemblokiran terkait PSE itu bentuknya sementara. Kalau mereka memperbarui datanya atau mereka mendaftarkan ya kita cabut namanya, itu proses normalisasi," kata Semuel.
Menurutnya, begitu suatu platform digital sudah terdaftar, maka nama mereka akan dicabut dari daftar blokir. Semuel mengungkapkan, beberapa platform yang sudah banyak digunakan masyarakat sebenarnya sudah melakukan pendaftaran PSE.
Beberapa di antara PSE privat baik domestik dan asing tersebut seperti TikTok, Spotify, Google Cloud, Mobile Legends, Traveloka, Gojek, Telegram, layanan-layanan banking, Netflix, hingga aplikasi KAI.
"Pertambahannya per menit. Kita lagi ngomong itu bertambah," kata Semuel. "Itu bertambah terus, begitu mereka terdaftar, mereka muncul di situ (situs pse.kominfo.go.id) nama layanannya," imbuhnya.Â
Advertisement
Tidak Membatasi
Semuel menambahkan, apabila platform-platform digital ini melihat Indonesia sebagai mitra negara yang potensial bagi mereka untuk beroperasi, sudah seharusnya mereka melakukan pendaftaran.
Selain itu, Semuel menegaskan bahwa pendaftaran PSE bukanlah sebuah pembatasan. "Ini tidak membatasi. Berarti ada niat yang lain dong kalau mereka tidak mau mendaftar."
"Kita saja bertamu di rumah saudara lebih dari 24 jam harus lapor Pak RT. Mereka sudah bertahun-tahun bisnis di Indonesia, saya rasa tidak mungkin mereka tidak mau mendaftar," kata Semuel.
"Kalau dikaitkan dengan pengendalian ini lain lagi, ini benar-benar pendataan. Pengendalian sudah ada aturannya," kata Semuel.Â
Semuel mengatakan, pendaftaran PSE ini dilakukan agar pemerintah mengetahui siapa saja platform digital yang beroperasi secara digital di Indonesia.
"Saya rasa ini bukan hanya Indonesia, semua negara punya metodenya masing-masing dan kita modelnya adalah pendaftaran. Jadi saya rasa tidak ada kaitannya (dengan pengendalian), karena ini benar-benar tentang pendataan."
Bukan Upaya Mengendalikan Platform Digital
Menurut Semuel, apabila platform digital tidak melakukan pendaftaran, maka mereka sendiri yang akan rugi karena dinilai "tidak melihat Indonesia sebagai potential market mereka."
Selain itu, Semuel juga menyebut masih ada alternatif platform lain apabila sebuah PSE tidak melakukan pendaftaran serta membuka kesempatan anak bangsa untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Intinya kita tegas. Ini adalah regulasi yang ada, ini adalah tata kelola, bukan pengendalian. Supaya kita tahu siapa saja yang beroperasi di Indonesia dan apa yang mereka operasikan," tegas Semuel.
Semuel dalam kesempatan sama juga menjelaskan, kekhawatiran publik terkait keberadaan tiga pasal yang dianggap rentan jadi "pasal karet" dalam Permenkominfo Nomor 5 tahun 2020.
"Terkait pelanggaran atau penegakkan hukum, itu bukan hanya di Indonesia, semua seperti itu ada prosesnya. Biasanya kita minta data dulu," kata Kominfo.
Terkait permintaan untuk mengakses sistem, Kemkominfo mengklaim, hal ini dilakukan apabila ada kejahatan yang memang dilakukan oleh pihak perusahaan itu sendiri.
"Binomo, DNA Robot contohnya. Aparat harus bisa masuk ke sistemnya, karena secara sistem mereka melakukan kejahatan. Atau kalau ada fintech yang nakal, tiba-tiba uang pelanggan hilang sedikit-sedikit," kata Semuel.
Sementara terkait konten, Semuel menegaskan sudah ada aturan soal ini. Menurutnya, platform juga sudah memiliki tata kelola dalam hal ini. Kemkominfo pun juga tidak sembarang melakukan pemblokiran.
"Terkait konten yang mengganggu ketertiban umum, contohnya tentang agama, kan sampai ramai juga. Setelah kejadiannya baru kita minta 'tolong di-stop' karena sudah mengganggu," kata Semuel.
(Dam/Ysl)
Advertisement