Liputan6.com, Jakarta - Para peneliti di University of Alaska Fairbanks melatih machine learning untuk mendeteksi ledakan secara lebih baik. Peneliti post-doc bernama Alex Witsil dan koleganya membuat pustaka sinyal ledakan infrasonik sintetis untuk melatih algoritma guna mengenali sumber sinyal infrasonik.
Sinyal tersebut berada pada frekuensi yang terlalu rendah untuk didengar oleh manusia dan bergerak lebih jauh daripada gelombang terdengar frekuensi tinggi.
Baca Juga
Pengacara Razman Arif Nasution Dampingi Istri Jalani Pemeriksaan Terkait Laporannya Terhadap Nikita Mirzani
Fitri Salhuteru Akhiri Persahabatan dengan Nikita Mirzani, Siap Menjauhi Huru-hara Medsos demi Anak
Cuma Diberi Titel Pelatih Kepala, Ruben Amorim Ajukan Permintaan Tegas ke Petinggi Manchester United
"Kami menggunakan perangkat lunak pemodelan untuk menghasilkan 28.000 sinyal infrasonik sintetis, yang meskipun dihasilkan di komputer, secara hipotetis dapat direkam oleh mikrofon infrasonik yang ditempatkan ratusan kilometer dari ledakan besar," tutur Witsil dikutip dari rilis pers via Eurekalert.
Advertisement
Sinyal sintetis mencerminkan variasi kondisi atmosfer, yang dapat mengubah sinyal ledakan secara regional atau global saat gelombang suara merambat. Perubahan itu dapat menyulitkan deteksi asal dan jenis ledakan dari jarak yang sangat jauh.
Mengapa membuat suara ledakan sintetis alih-alih menggunakan contoh di dunia nyata? Masalahnya adalah ledakan belum terjadi di setiap lokasi di planet ini dan atmosfer terus berubah. Oleh karena itu, tidak ada cukup contoh dunia nyata untuk melatih algoritma machine learning untuk melakukan deteksi ini.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dapat Memodelkan Ledakan di Sejumlah Atmosfer
"Kami memutuskan untuk menggunakan ledakan sintetis karena kami dapat memodelkan sejumlah jenis atmosfer yang berbeda di mana sinyal dapat merambat," ujar Witsil.
Oleh karena itu, kata Witsil, meskipun sebagai contoh mereka tidak memiliki akses ke ledakan apa pun yang terjadi di Carolina Utara, mereka dapat menggunakan komputer untuk memodelkan ledakan di wilayah itu dan membangun algoritma machine learning untuk mendeteksi sinyal ledakan di sana.
Saat ini, algoritma deteksi ledakan umumnya mengandalkan susunan infrasonik yang terdiri dari beberapa mikrofon yang berdekatan satu sama lain. Misalnya, Comprehensive Test Ban Treaty Organization, yang memantau ledakan nuklir, memiliki susunan infrasonik yang dikerahkan di seluruh dunia.
"Namun, itu mahal dan sulit dirawat," tutur Witsil.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Hemat Biaya
Metode Witsil meningkatkan deteksi dengan memanfaatkan ratusan mikrofon infrasonik elemen tunggal yang sudah ada di seluruh dunia. Itu membuat deteksi lebih hemat biaya.
Machine learning memperluas kegunaan mikrofon infrasonik elemen tunggal dengan membuatnya mampu mendeteksi sinyal ledakan secara lebih halus dalam waktu dekat.
Mikrofon elemen tunggal saat ini hanya berguna untuk menganalisis secara surut sinyal yang diketahui dan biasanya beramplitudo tinggi, seperti yang mereka lakukan dengan letusan besar gunung berapi Tonga pada bulan Januari.
Model yang Witsil dan koleganya kembangkan dapat mendeteksi antara lain ledakan nuklir, ledakan kimia, dan letusan gunung berapi. Oleh karena itu, model itu dapat diterapkan dalam pengaturan operasional untuk pertahanan nasional atau mitigasi bahaya alam.