Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tinggi Australia memutuskan bahwa Google bukanlah penerbit tautan soal kisah tahun 2004 di The Age yang diduga mencoreng nama pengacara negara bagian George Defteros--mewakili orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan gangland Melbourne.
Seperti yang dilaporkan The Guardian, dikutip dari Engadget, Kamis (18/8/2022), lima dari tujuh hakim pengadilan menemukan bahwa tautan hasil pencarian 'hanya memfasilitasi akses' ke cerita sehingga Google tidak berperan dalam menulis atau mendistribusikan konten.
Baca Juga
Pengadilan Tinggi juga menolak klaim Defteros bahwa hasil pencarian mendorong pengguna untuk mengunjungi sebuah cerita.
Advertisement
"Seseorang yang menemukan tautan itu sudah mencari konten yang relevan," kata hakim.
Beberapa hakim mengatakan kasusnya mungkin berbeda jika itu adalah tautan sponsor, tetapi banding Google tidak memerlukan jawaban tentang masalah itu.
Defteros menggugat Google pada 2016, menuduh perusahaan itu mencemarkan nama baik dirinya.
Google kemudian menarik tautan tersebut pada Desember 2016, dan kalah dalam persidangan awal, tetapi mencoba untuk membatalkan keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa mereka dapat dimintai pertanggungjawaban atas konten halaman mana pun yang ditautkannya.
Google khawatir bahwa mereka harus "bertindak sebagai sensor" untuk internet pada umumnya.
Perusahaan tidak berhasil dengan banding pertama, dan pada tahun 2020, pengadilan tertinggi Victoria memerintahkan agar Defteros menerima ganti rugi sebesar USD 40.000. Google meminta Pengadilan Tinggi untuk campur tangan pada Januari.
Keputusan tersebut dapat berdampak luas pada perusahaan internet yang beroperasi di Australia. Mereka mungkin tidak perlu khawatir bahwa kueri penelusuran atau tautan lain yang dibuat secara otomatis dapat membawa mereka ke masalah hukum.
Dalam hal ini penggugat harus menunjukkan bahwa ada upaya yang disengaja untuk mempromosikan hal yang tidak menarik.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Google Didenda Rp 883 Miliar Terkait Pengumpulan Data Lokasi Pengguna
Sebelumnya, Komisi Persaingan dan Konsumen di Australia (Australian Competition and Consumer Commission, ACCC) mengumumkan, Google telah didenda sebesar USD 60 juta atau sekitar Rp 883 miliar.
Hal ini terkait dengan kasus dimana, Google kedapatan telah mengumpulkan dan menggunakan data lokasi pengguna Android selama hampir dua tahun antara Januari 2017 dan Desember 2018.
Pengawas kompetisi Australia itu mengatakan, Google terus melacak beberapa ponsel Android penggunanya meskipun telah menonaktifkan "Riwayat Lokasi" di pengaturan perangkat.
Pelanggan disesatkan untuk berpikir pengaturan tersebut akan menonaktifkan pelacakan lokasi, sementara itu pengaturan akun lain aktif.
Adapun pengaturan tersebut adalah "Aktivitas Web & Aplikasi". Aktif secara default, dan pengaturan ini memungkinkan Google "mengumpulkan, menyimpan, dan menggunakan data lokasi untuk diidentifikasi secara pribadi."
ACCC mengatakan berdasarkan data yang tersedia, diperkirakan lebih dari 1,3 juta akun Google milik warga Australia terpengaruh, sebagaimana dilansir BleepingComputer, Senin (15/8/2022)
"Google mampu menyimpan kumpulan data lokasi melalui pengaturan 'Aktivitas Web dan Aplikasi', dan menggunakan data itu untuk iklan tertarget," kata pimpinan ACCC, Gina Cass-Gottlieb.
Sebelumnya, pada bulan Januari, Komisi Nasional Informatika dan Kebebasan Prancis (CNIL) juga telah mendenda Google sebesar USD 170 juta.
Hal ini dilakukan karena, Google mempersulit pengunjung situs web untuk menolak cookie pelacakan dengan menyembunyikan opsi ini di balik beberapa klik, yang merupakan pelanggaran kebebasan persetujuan pengguna internet.
Kasus lainnya, Google juga didenda USD 11,3 juta untuk pengumpulan data, 220 juta euro karena layanannya merugikan pesaing.
Google didenda sebesar USD 1,7 miliar untuk praktik anti-persaingan dalam periklanan online, dan USD 2,72 miliar karena menyalahgunakan posisi pasar dominannya untuk mengubah hasil pencarian.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Google Rilis Fitur Baru Usai Integrasi Meet dan Duo
Di sisi lain, Google mengumumkan kehadiran sejumlah fitur baru usai integrasi yang dilakukan antara dua aplikasi besutannya, yakni Google Meet dan Google Duo. Seperti diketahui, pada Juni 2022, Google menyebut akan menggabungkan dua layanan tersebut dalam satu aplikasi Meet.Â
Menurut perusahaan, keputusan untuk menggabungkan dua aplikasi ini diharapkan bisa memecahkan beberapa masalah komunikasi modern. Kini, seperti dikutip dari Engadget, Sabtu (13/8/2022), Google menggulirkan sejumlah fitur baru usai integrasi tersebut.
Salah satu fitur baru yang diperkenalkan adalah Live Sharing ke dalam Google Meet. Sesuai namanya, fitur ini memungkinkan pengguna berinteraksi dan berbagi konten ketika melakukan panggilan video.
Lewat fitur ini, pengguna dapat bersama-sama menonton video di YouTube, termasuk menyusun playlist yang di Spotify. Selain itu, pengguna juga dapat memainkan sejumlah game secara bersama-sama seperti Heads UP!, Uno!Mobile atau Kahoot!.
Fitur Baru
Kemampuan lain yang juga dihadirkan adalah mengubah latar belakang atau menerapkan efek visual sebelum bergabung dalam panggilan video. Selama panggilan, pengguna juga dapat memanfaatkan fitur chat untuk meningkatkan partisipasi.
Bersama dengan pengguliran fitur ini, pengguna yang memiliki aplikasi Google Duo juga akan mulai melihat perubahan ikon aplikasi tersebut menjadi Google Meet. Pembaruan ini akan dimulai dalam beberapa bulan ke depan di perangkat mobile dan tablet.
Sementara untuk pengguna yang memakai Google Meet, mereka tidak ada menemukan perubahan berarti. Namun, pengguna tetap disarankan untuk memperbarui aplikasi tersebut ke versi terkini untuk bisa memakai sejumlah fitur baru.
Advertisement