Liputan6.com, Jakarta - Jepang dikenal sebagai salah satu negara yang mengadopsi teknologi tinggi, bahkan termasuk pemimpin dalam sejumlah bidang teknologi. Namun, siapa sangka, pemerintahan Jepang ternyata masih memanfaatkan beberapa teknologi lawas.
Salah satunya yang masih digunakan hingga saat ini adalah disket. Oleh sebab itu, seperti dikutip dari Engadget, Senin (5/9/2022), baru-baru ini Menteri Digital Jepang Kono Taro menyatakan 'perang' terhadap penggunaan perangkat penyimpanan tersebut.
Baca Juga
Sebagai informasi, ternyata ada sekitar 1.900 prosedur pemerintahan di negeri Matahari terbit itu yang masih mengharuskan penggunaan perangkat penyimpanan lama untuk registrasi formulir atau aplikasi. Selain disket, piranti penyimpanan lain yang masih digunakan adalah CD dan MiniDisc.
Advertisement
Kondisi itu membuat Kono berencana untuk mengubah regulasi, sehingga registrasi formulir bisa dilakukan secara online.
"Di mana kini orang membeli disket?," tuturnya dalam sebuah konferensi pers.
Teknologi disket sendiri kini sudah berusia lebih dari 50 tahun, tapi piranti ini memang masih dijual di Jepang. Perusahaan seperti Sony bahkan terakhir memproduksi disket model 3,5 inci pada 2011, dan kini sudah mulai digantikan teknologi lain yang lebih maju.
Dalam beberapa kesempatan, Kono memang cukup blak-blakan menyebut Jepang agak tertinggal di era digital. Karenannya, selain disket, ia juga berencana untuk menghentikan penggunaan mesin faks.
Untuk diketahui, Kono ditunjuk Perdana Menteri Jepang Fumio Kisiha sebagai Menteri Digital pada Agustus tahun ini. Ia dipilih dengan misi memajukan Jepang secara teknologi.
Kendali Sistem Nuklir AS Ternyata Masih Menggunakan Disket
Selain Jepang, negara lain yang juga diketahui masih memanfaatkan disket untuk beberapa keperluan pemerintahan adalah Amerika Serikat.
Hingga 2018, pihak militer Amerika Serikat diketahui masih menggunakan disket untuk mengontrol sistem senjata nuklir yang memang sudah dimiliki negara tersebut sejak lama.
Dari informasi terbaru, pemerintahan Amerika Serikat diketahui telah menghabiskan sekitar US$ 60 triliun untuk mempertahankan sebuah komputer lama termasuk program pertahanan negara di dalamnya.
Saking lawasnya, saat ini tak ada yang bisa mengoperasikan komputer tersebut karena banyak penciptanya yang telah pensiun. Namun, yang mengagetkan ternyata komputer itu memiliki sistem kendali nuklir Amerika Serikat.
Dikutip dari laman The Guardian, Senin (30/5/2016), Defense Department Strategic Automated Commandand Control System mengatakan pihaknya memang masih menggunakan platform komputasi IBM tahun 1970 untuk mengirim dan menerima pesan guna mengaktifkan senjata nuklir.
Bahkan, sistem tersebut menggunakan disket generasi awal berukuran 8 inci, bukan disket yang dikenal saat ini dengan ukuran 3,5 inci.
Advertisement
Rencana Amerika Serikat
Disket tersebut pertama kali dikenal pada 1971, tapi segera digantikan dengan disket berukuran 5,25 inci di tahun 1976. Lalu, pada 1982 diperkenalkan disket berukuran 3,5 inci yang dikenal sampai saat ini.
Kendati demikian, pemerintah Amerika Serikat menuturkan pihaknya tak bisa segera mengganti sistem pengendali nuklir itu dengan teknologi yang lebih baru.
Government Accountability Office Amerika Serikat menuturkan, suku cadang pengganti untuk sistem tersebut sulit dicari saat ini karena kelewat usang.
Oleh sebab itu, Pentagon menuturkan pembaruan itu akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Baru pada 2019, Amerika Serikat benar-benar menghentikan penggunaan disket untuk kebutuhan peluncuran nuklir.
Disket sendiri memang masih banyak digunakan oleh sejumlah instansi pemerintah Amerika Serikat, setidaknya hingga 2016.
Startup Jepang Garap Teknologi untuk Ciptakan Rasa Sakit di Metaverse
Di sisi lain, startup Jepang, H2L Technologies, yang juga mendapatkan dukungan dari Sony, sedang berusaha menciptakan pengalaman rasa sakit di dunia virtual.
Dilansir New York Post, dikutip Selasa (29/3/2022), perusahaan rintisan ini sedang mengerjakan wristband atau gelang metaverse, untuk digunakan bersama headset virtual reality (VR).
Gelang ini bertujuan agar pengguna tidak hanya dapat bergerak di realitas virtual, tetapi juga bisa merasakan sensasi seperti rasa sakit atau berat dari sebuah benda.
Teknologi ini bekerja dengan merangsang otot lengan pemakainya secara elektrik. Pengguna disebut dapat merasakan sensasi seperti kulit mereka dicubit atau berat di tangan mereka.
"Merasa sakit memungkinkan kita untuk mengubah dunia metaverse menjadi (dunia) nyata, dengan peningkatan rasa kehadiran dan penyerapan," kata CEO H2L Technologies, Emi Tamaki.
(Dam/Isk)
Advertisement