Liputan6.com, Jakarta - Para peneliti di Aalto University telah mengembangkan model machine learning jenis jaringan saraf (neural network) yang dapat memprediksi secara akurat kebakaran lahan gambut.
Mereka menggunakan model machine learning ini untuk menilai efek dari berbagai strategi berbeda untuk mengelola risiko kebakaran dan mengidentifikasi serangkaian intervensi yang dapat mengurangi kejadian kebakaran hingga 50-76 persen.
Baca Juga
Penelitian ini difokuskan pada provinsi Kalimantan Tengah di Indonesia, yang memiliki kepadatan kebakaran lahan gambut tertinggi di Asia Tenggara.
Advertisement
Drainase untuk mendukung pertanian atau perluasan pemukiman telah membuat lahan gambut semakin rentan terhadap kebakaran berulang. Selain mengancam kehidupan dan mata pencaharian, kebakaran lahan gambut juga melepaskan karbon dioksida dalam jumlah yang signifikan.
Namun, strategi pencegahan menghadapi kesulitan karena kurangnya hubungan yang jelas dan terukur antara intervensi yang diusulkan dan risiko kebakaran.
Model machine learning baru ini menggunakan pengukuran yang dilakukan sebelum setiap musim kebakaran pada periode 2002-2019 untuk memprediksi distribusi kebakaran lahan gambut. Meskipun temuan ini dapat diterapkan secara luas pada lahan gambut di tempat lain, analisis baru harus dilakukan untuk konteks lain.
"Metodologi kami dapat digunakan untuk konteks lain, tetapi model machine learning ini harus dilatih kembali pada data baru," kata Alexander Horton, peneliti post-doc di makalah yang terbit di Communications Earth & Environment tersebut.
Â
31 variabel data
Para peneliti menggunakan convolutional neural network (CNN) untuk untuk melakukan analisis pada 31 variabel data. Itu antara lain termasuk jenis tutupan lahan dan indeks pra-kebakaran vegetasi dan kekeringan.
Setelah proses pelatihan model, jaringan convolutional neural network tersebut memprediksi kemungkinan terjadinya kebakaran lahan gambut di setiap titik pada peta. Kemudian, itu menghasilkan distribusi kebakaran yang diprediksi untuk tahun tersebut.
Secara keseluruhan, prediksi jaringan ini tepat 80-95 persen. Namun, meskipun model machine learning ini biasanya tepat dalam memprediksi kebakaran, ia masih melewatkan banyak kebakaran yang sebetulnya benar-benar terjadi.
Sekitar setengah dari kebakaran yang diamati tidak diprediksi oleh model. Karena itu, para peneliti pun menyebut bahwa bahwa model ini tidak cocok diterapkan untuk sistem prediksi peringatan dini.
Â
Advertisement
Tingkatkan kinerja model
Pengelompokan kebakaran yang lebih besar cenderung diprediksi dengan baik, sementara kebakaran terisolasi sering terlewatkan oleh jaringan. Oleh karena itu, para peneliti berharap untuk meningkatkan kinerja model ini di masa depan, sehingga dapat juga berfungsi sebagai sistem peringatan dini.
Tim peneliti memanfaatkan fakta bahwa prediksi kebakaran biasanya benar untuk menguji efek dari strategi pengelolaan lahan yang berbeda.
Dengan melakukan simulasi berbagai intervensi berbeda, mereka menemukan bahwa strategi paling efektif yang masuk akal adalah mengubah semak belukar dan belukar menjadi hutan rawa; langkah itu akan mengurangi insiden kebakaran hingga 50%.
Jika hal ini dipadukan dengan memblokir semua kanal drainase kecuali kanal-kanal utama, kebakaran akan berkurang hingga 70% secara total. Namun, strategi seperti itu jelas memiliki kelemahan ekonomi.
Â
Strategi alternatiff
"Masyarakat setempat sangat membutuhkan budidaya jangka panjang yang stabil untuk meningkatkan ekonomi lokal," kata Horton.
Strategi alternatifnya adalah membangun lebih banyak perkebunan karena pengelolaan yang baik mengurangi kemungkinan kebakaran secara dramatis.
Namun, perkebunan adalah salah satu pendorong utama hilangnya hutan, dan Horton menekankan bahwa "perkebunan sebagian besar dimiliki oleh perusahaan besar, yang sering berbasis di luar Kalimantan."
"Itu berarti, keuntungannya tidak secara langsung kembali ke ekonomi lokal di luar penyediaan tenaga kerja untuk tenaga kerja lokal," tutur Horton.
Advertisement