Liputan6.com, Jakarta - Mantan Head of Trust and Safety di Twitter, Yoel Roth, mengatakan dirinya yakin platform media sosial tersebut saat ini kurang aman di bawah Elon Musk.
"Saya tidak yakin bahwa Twitter aman di bawah kendali Elon Musk," ujar Roth di sebuah acara yang diselenggarakan Knight Foundation, dikutip dari Engadget, Rabu (30/11/2022).
Baca Juga
Komentar Roth menuai perhatian karena dia adalah satu-satunya eksekutif puncak yang secara terbuka mendiskusikan apa yang terjadi di Twitter setelah pengambilalihan Musk.
Advertisement
Roth, anggota lama tim kebijakan Twitter, merinci kampanye trolling terkoordinasi yang menyebabkan lonjakan cercaan rasis di platform.
Elon Musk sering menyoroti tweet-nya dan menjelaskan tentang apa yang dilakukan Twitter untuk menghentikan serangan rasis.
Tetapi Roth mengatakan, meskipun dia awalnya optimistis, gangguan dalam "legitimasi prosedural" akhirnya menyebabkan dirinya hengkang dari perusahaan.
Dia mengungkapkan bahwa Musk awalnya ingin membentuk 'dewan moderasi' sebelum membuat keputusan/kebijakan besar di Twitter, tetapi Musk lebih suka membuat keputusan sendiri.
Kurangnya Kebijakan Orang Berpengalaman
Roth mengimbau kepada pengguna untuk memperhatikan apakah fitur keamanan utama, seperti memblokir dan membisukan tweet, terus berfungsi secara normal, serta fitur perlindungan privasi seperti tweet yang dilindungi.
"Jika tweet yang dilindungi berhenti berfungsi, berarti ada sesuatu yang salah," katanya.
Ia menambahkan, meskipun Twitter mungkin dapat meningkatkan sistem pembelajaran mesinnya, kurangnya kebijakan orang yang berpengalaman dan keselamatan karyawan di perusahaan akan merugikan platform tersebut.
“Apakah ada cukup banyak orang yang memahami munculnya kampanye jahat yang terjadi pada layanan dan memahaminya dengan cukup baik untuk memandu strategi produk dan arah kebijakan,” Roth mempertanyakan.
"Saya rasa tidak ada cukup orang tersisa di perusahaan yang dapat melakukan pekerjaan itu," ia memungkaskan.
Advertisement
Twitter Banjir Spam Porno Usai Banyak Dipakai untuk Demo Tiongkok
Di sisi lain, Twitter dilaporkan kebanjiran spam dan bot yang berisi konten judi dan porno, disebut-sebut sebagai upaya mengaburkan pemberitaan tentang gelombang demonstrasi di Tiongkok.
Konten-konten itu diketahui muncul dalam pencarian untuk kota-kota besar di Tiongkok di Twitter, yang mana ini terlihat seperti dalam hasil penelusuran untuk Beijing atau Shanghai dalam bahasa Mandarin.
Alex Stamos dari Stanford Internet Observatory, dikutip dari The Verge, memperkirakan lebih dari 95 persen cuitan di bawah istilah pencarian Beijing berasal dari akun spam, dengan lebih dari 70 persen akun baru mencuitkan dalam volume besar.
Kemunculan akun bot dan spam ini juga tidak lepas dari penggunaan media sosial seperti Twitter dan Telegram oleh para pengunjuk rasa di Tiongkok, yang menggunakan VPN untuk mengaksesnya.
Konten spam itu sendiri kabarnya berasal dari akun-akun yang terkait dengan pemerintah. Jumlahnya yang besar mempersulit pencarian informasi yang sah dan berguna untuk aksi massa.
Sementara pengguna Twitter di luar Tiongkok yang mencoba mendapatkan informasi di lapangan soal protes, juga akan mengalami kesulitan.
Dilaporkan Tech Crunch, dikutip Rabu (30/11/2022), aplikasi Twitter mengalami lonjakan unduhan di Tiongkok, menyusul protes besar-besaran terhadap pembatasan Covid-19 yang ketat di negara itu dalam beberapa hari terakhir.
Sensor Tower menyebut, aplikasi ini berada di peringkat ke-9 di antara semua aplikasi iOS gratis di Tiongkok pada 29 November 2022.
Sejak akhir pekan lalu, diskusi soal protes, hingga tindakan pembangkangan yang jarang terjadi, telah dipantau secara ketat oleh sensor dan sebagian besar dibungkam di media sosial lokal.
Akibatnya, masyarakat beralih ke aplikasi luar negeri seperti Twitter dan Telegram untuk mengorganisir demonstrasi.
Lonjakan Unduhan Twitter di Tiongkok
Lonjakan unduhan Twitter di Tiongkok sendiri terbilang menarik karena aplikasi ini sudah lama diblokir oleh "Great Firewall" Tiongkok. Mengaksesnya pun membutuhkan alat pengelak sensor atau VPN.
Namun, aplikasi tersebut tetap tersedia untuk diunduh di App Store, setidaknya sejak Februari 2019, menurut Sensor Apple, sebuah proyek independen yang melacak penyensoran di App Store.
Untuk unduhan di Android sendiri tidak diketahui, mengingat Google Play Store tidak tersedia di Tiongkok.
Toko aplikasi Android dioperasikan oleh perusahaan seperti Huawei dan Xiaomi, yang cenderung mengikuti aturan sensor lokal secara ketat. Apple sendiri juga sempat dikecam karena tunduk terhadap permintaan sensor pemerintah.
Bahkan, saat pengguna berhasil mengakses Twitter pun, mereka masih harus menghadapi sejumlah akun bot yang membombardir pencarian kota-kota di Tiongkok dengan cuitan porno, hingga tautan judi.
Mengingat peningkatan aktivitas bot berbahasa Mandarin, yang disebut-sebut diarahkan pemerintah, sulit untuk mengetahui berapa banyak pemasangan aplikasi baru milik para pengunjuk rasa.
Advertisement