Liputan6.com, Jakarta - Sepanjang 2023 diprediksi akan ada empat fenomena supermoon. Salah satunya adalah Blue Moon yang dinilai paling langka.
Mengutip The Sun, Jumat (6/1/2023), berikut ini tanggal terjadinya supermoon sepanjang 2023.
Baca Juga
- 3 Juli – Buck Moon
- 1 Agustus – Bulan Sturgeon
- 30 Agustus – Blue Moon
- 29 September – Harvest Moon
Blue Moon adalah kejadian langka saat kamu melihat bulan purnama kedua dalam satu bulan kalender.
Advertisement
Kamu biasanya hanya melihat Blue Moon setiap dua atau tiga tahun, meskipun kamu bisa melihatnya dua kali dalam setahun pada kasus yang jarang terjadi (seperti 2018 dan 2037).
Supermoon sendiri adalah kombinasi dari dua efek astronomi yang berbeda. Saat itulah Bulan baru atau purnama bertepatan dengan perigee--titik terdekat Bulan ke Bumi dalam orbit bulanannya.
Sebuah Bulan dapat didefinisikan sebagai supermoon bila tampak lebih terang, lebih besar, dan 90 persen lebih dekat ke Bumi. Itu berarti Bulan harus berada dalam jarak 224.865 mil dari Bumi dan menjadi Bulan purnama.
Agar itu terjadi, Bumi harus berada di antara Matahari dan Bulan. Itu berarti kita melihat seluruh permukaan Bulan diterangi oleh Matahari.
Meskipun Bumi berada di antara Matahari dan Bulan, namun tidak terjadi gerhana karena posisi Bulan relatif sedikit miring di dekat Bumi.
Untuk supermoon, Bulan harus berada di posisi yang tepat di orbit mengelilingi Bumi. Bulan memiliki orbit elips, dan jaraknya tidak selalu sama persis dari Bumi.
Titik terdekatnya disebut perigee, dan terjauhnya disebut apogee. Bila Bulan purnama di perigee, kamu akan melihat supermoon. Bila Bulan purnama di puncaknya, kamu akan melihat micro moon.
Menelusuri Muasal Dugaan Supermoon 'Picu' Bencana Dahsyat
Sebelumnya, pada Sabtu (19/3/2011) lalu, bulan berada dalam jarak terdekatnya dengan Bumi -- yang paling rapat dalam kurun waktu 18 tahun. Rembulan hanya terpisah jarak 221.567 mil atau 356.578 kilometer dari planet manusia.
Dalam bahasa astronominya, fenomena tersebut dijuluki purnama terbesar (lunar perigee). Namun, orang kebanyakan menyebutnya sebagai supermoon.
Bagi yang beruntung bisa menyaksikannya malam itu, bulan terlihat bulat, besar, dan terang. Di Indonesia, puncak supermoon terjadi Minggu (20/3/2011) dini hari, tepatnya pada pukul 02.10 WIB.
Pada Rabu (9/3/2011), seorang astrolog -- bukan astronom -- Richard Nolle meramalkan, supermoon 'ekstrem' yang akan terjadi pada 10 hari kemudian, bakal memicu malapetaka.
Salah satunya yang dipakai jadi dasar teori ini adalah fakta bahwa Tsunami Aceh 2004, yang merenggut lebih dari 200 ribu nyawa terjadi dua minggu sebelum supermoon 2005.
Entah kebetulan atau bukan, gempa 7 SR yang mengguncang Haiti pada 12 Januari 2010, yang bertanggung jawab atas kematian lebih dari 200 ribu jiwa. Yang terjadi, tak lama sebelum supermoon 30 Januari 2010.
Dua hari kemudian, pada hari Jumat (11/3/2011), tanah di Jepang berguncang hebat. Lindu dengan kekuatan 9 skala Richter memorakporandakan kawasan utara Negeri Sakura, memicu tsunami yang menyapu seluruh kawasan pesisir pantai Pasifik di wilayah Tohoku.
Namun, teori itu dibantah Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA. Ilmuwan Goddard Space Flight Center NASA, Jim Garvin menjelaskan, supermoon terjadi saat bulan berada dalam jarak yang sedikit lebih dekat dengan bumi. Efek tersebut paling terlihat saat terjadi bulan purnama.
Advertisement
Bantahan NASA
"Bulan akan terlihat lebih besar, meski perbedaan jarak dari bumi hanya beberapa persen di banding biasanya," kata dia seperti dimuat situs Space.com.
Menurutnya, efek bulan terhadap bumi telah lama menjadi subjek studi. "Efek supermoon terhadap bumi kecil. Dan menurut studi detail para seismolog dan vulkanolog, kombinasi antara supermoon dan bulan purnama tidak memengaruhi energi internal keseimbangan di bumi."
Meski bulan berkaitan dengan kondisi pasang surut bumi, itu tidak mampu memicu gempa besar dan mematikan. Kekuatan sebenarnya justru berada di bumi. "Bumi menyimpan energi di balik lapisan luar atau keraknya. Perbedaan daya pasang surut yang diakibatkan bulan (juga matahari) tidak cukup mendasari munculnya kekuatan besar dari dalam bumi."
Hal senada diungkap Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin. "Dengan ramalan bencana sesungguhnya tidak kaitannya. Memang pada saat purnama, beberapa potensi bencana ada, tapi tidak selalu. Kecuali ada hal lain yang memperkuat," kata dia saat diwawancara Liputan6.com.
Bantahan Picu Bencana
Supermoon bukan berarti bencana. Pun dengan kejadian Tsunami Aceh 2004, yang terjadi terjadi 2 pekan sebelum supermoon 10 Januari 2005. "Kalau 2 minggu sebelumnya, posisi bulan bukan supermoon. Tapi hanya purnama biasa," jelas dia.
Pun dengan pakar gempa dari Puslit Geoteknologi LIPI, Danny Hilman Natawidjaja. Tak ada bukti ilmiah keterkaitan supermoon dengan bencana khususnya gempa dan tsunami.
"Tak ada dasar ilmiah yang jelas, selain hanya gravitasi bulan yang sedikit lebih besar dari biasanya."
Menurut Danny, harus dianalisa secara statistik hubungan bencana dan supermoon. "Jangan-jangan hanya kebetulan saja atau randomness," tambah dia.
Selain terjadinya supermoon, sejumlah peristiwa penting dalam sejarah terjadi pada tanggal 19 Maret. Pada tahun 1787, galaksi NGC 3432 ditemukan oleh William Herschel.
Sementara, pada 19 Maret 1945, 800 orang tewas ketika pesawat Jepang menyerang kapal pengangkut pesawat, USS Franklin, di perairan Negeri Sakura.
Advertisement