Sukses

Spotify Cs Ngadu ke Regulator, Tuding Apple Lakukan Monopoli di Eropa

Spotify dan delapan perusahaan digital lainnya mengadu ke regulator Komisi Eropa, menuding Apple menjalankan praktik monopoli yang merugikan mereka di Eropa.

Liputan6.com, Jakarta - Lagi-lagi kebijakan App Store Apple membuat para pengembang aplikasi makin tak senang. Baru-baru ini, layanan streaming musik Spotify bersama delapan perusahaan digital lainnya melayangkan gugatan terhadap Apple pada Komisi Uni Eropa.

Mengutip Gizmochina, Senin (24/1/2023), Spotify dkk mengirimkan surat kepada Vice President Executive European Union Commission.

Dalam surat keberatan tersebut, Spotify cs menyebut Apple sebagai perusahaan membahayakan, anti kompetisi, dan melakukan monopoli.

Perusahaan-perusahaan ini meminta kepada Komisi Uni Eropa untuk membatasi kewenangan Apple melalui aturan yang bersifat urgen.

Surat keberatan ini ditandatangani oleh CEO Spotify, Deezer, Basecamp, Proton, EPC, Schibsted, France Digitale, dan News Media Europe.

Surat ini dilayangkan kepada Margrethe Vestager yang merupakan VP Executive di Komisi Uni Eropa. Mereka juga meminta komisi untuk melayangkan investigasi yang sebelumnya diminta oleh Spotify.

Dalam suratnya, Spotify dkk mengklaim, App Store Apple telah menciptakan batasan kepada aplikasi-aplikasi ini untuk berfungsi dan bertumbuh secara efektif, karena praktik distribusi yang dijalankan Apple.

Lebih lanjut, surat keberatan itu juga menyatakan, kebijakan-kebijakan yang diterapkan Apple berdampak negatif terhadap warga negara-negara Eropa. Pasalnya, Apple melarang pengembang aplikasi mengakses data pengguna, padahal data ini bisa meningkatkan pengalaman pelanggan.

2 dari 4 halaman

Minta Apple Ditindak

Mengutip undang-undang Digital Markets Act (DMA), Spotify cs meminta Komisi Uni Eropa untuk bertindak cepat untuk kenyamanan pelanggan di Eropa.

Ini bukan pertama kalinya perusahaan-perusahaan digital mengungkapkan keberatan terhadap praktik data yang dijalankan Apple. Sebelumnya pada April 2022, Spotify juga mengajukan keluhan yang pada akhirnya membuat Komisi Uni Eropa memulai pengujian atas masalah ini.

Spotify dkk juga menyebut, regulasi App Store Apple secara sengaja membatasi pilihan dan meredam inovasi terkait pengalaman pelanggan.

Bukan hanya itu, perusahaan penyedia layanan streaming musik ini menyebut, regulasi Apple membuat tidak adanya kesetaraan dalam persaingan (level playing field). Dalam hal ini, Spotify kesulitan bersaing dengan Apple Music.

3 dari 4 halaman

Apple Kena Denda di Rusia

Dugaan praktik monopoli yang dijalankan Apple memang bikin persoalan di berbagai negara. Sebelumnya, lembaga antimonopoli Rusia atau FAS memberlakukan sanksi denda 1,2 miliar rubel (USD 17 juta atau setara Rp 257 miliar) pada Apple.

Sanksi ini diberikan ke pembesut iPhone lantaran dianggap melanggar posisi dominannya dengan menjalankan praktik monopoli. Lembaga ini menyebut, Apple mengharuskan pengembang aplikasi di Rusia untuk memakai sistem pembayarannya, Apple Pay.

Mengutip Gizchina, Jumat (20/1/2023), apa yang dilakukan oleh Apple dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap aturan antimonopoli di Rusia.

"Apple mengharuskan pengembang aplikasi iOS untuk menggunakan tool pembayaran mereka di aplikasinya," demikian pernyataan FAS.

Lebih lanjut dikatakan, perusahaan harus membayar denda sebesar Rp 257 miliar dalam waktu dua bulan.

Menurut FAS, aturan App Store melarang pengembang aplikasi iOS memberi tahu pelanggan tentang kemungkinan membeli aplikasi di luar toko dan menggunakan metode pembayaran lainnya.

Perusahaan pun meminta pengembang untuk menghapus tautan balik referensi dan mengubah fungsionalitas aplikasi.

Dengan cara ini, pendaftaran tidak diarahkan ke situs eksternal. Jika aplikasi tidak mematuhi kebijakan ini, Apple pun tidak akan mengizinkan aplikasi tersebut berada di App Store mereka.

4 dari 4 halaman

Prancis juga Denda Apple

Lalu sebelumnya, Komisi Nasional Informatika dan Kebebasan Prancis (National Commission on Informatics and Liberty/CNIL) telah mengeluarkan denda sebesar US$ 8,5 juta atau sekitar Rp 132 miliar terhadap Apple.

Perusahaan dituduh mengumpulkan data identitas dari pengunjung App Store yang menggunakan iOS 14.6 tanpa izin mereka, sebagai bagian dari langkah Apple menargetkan iklan.

Menurut pejabat di Prancis, Apple mendapat untung dari pelanggaran undang-undang perlindungan data. Demikian sebegaimana dikutip dari Engadget, Kamis (5/1/2022).

"Seharusnya pengguna dapat mematikan penargetan iklan, tetapi diaktifkan secara default dan tidak dapat dinonaktifkan tanpa bisa mengakses beberapa menu," kata CNIL.

Hal itu kemudian membuat pengguna tidak mungkin memberikan persetujuan yang tepat. Apple diduga telah mengubah praktiknya, dan CNIL mengatakan telah melakukan beberapa pemeriksaan antara 2021 dan 2022 untuk memastikan perusahaan menghormati aturan data.

Pihak berwenang Prancis sendiri tercatat telah melakukan penyelidikan pada Maret 2021.

Diwartakan 9to5Mac, Apple dalam sebuah pernyataan kepada Patrick McGee dari Financial Times mengaku kecewa dengan keputusan tersebut dan merencanakan banding.

Apple berpendapat bahwa sistem Search Ads-nya berjalan "lebih jauh" daripada pesaingnya dalam menawarkan pilihan atas iklan bertarget, dan tidak melacak pengguna lintas aplikasi atau situs web pihak ketiga.

Apple diketahui memiliki hubungan kontroversial dengan regulator Prancis. Pada 2020, otoritas persaingan negara mengeluarkan denda yang setara dengan US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 18,7 triliun (sekarang turun menjadi US$ 364,6 juta atau sekitar Rp 5,6 triliun) atas dugaan pelanggaran antimonopoli dalam rantai distribusinya.

Perusahaan juga menerima denda US$ 27,3 juta atau sekitar Rp 426 miliar atas pelambatan kinerja perangkat iPhone pada tahun yang sama.

(Tin/Isk)