Sukses

AS Tuding Google Monopoli Iklan Digital, 8 Negara Bagian Layangkan Gugatan

Pemerintah AS mengatakan Google harus dipaksa untuk menjual ad manager suite miliknya, bisnis yang menghasilkan sekitar 12 persen dari pendapatan Google pada 2021.

Liputan6.com, Jakarta - Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) menuduh Alphabet Inc (induk dari Google) menyalahgunakan dominasinya dalam periklanan digital, mengancam akan membubarkan bisnis utama dari raksasa teknologi yang berbasis di Silicon Valley itu.

Pemerintah AS mengatakan Google harus dipaksa untuk menjual ad manager suite miliknya, bisnis yang menghasilkan sekitar 12 persen dari pendapatan Google pada 2021, juga memainkan peran penting dalam penjualan keseluruhan mesin pencari dan cloud.

"Google telah menggunakan cara antipersaingan, eksklusivitas, dan melanggar hukum untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman terhadap dominasinya atas teknologi periklanan digital," demikian keluhan antimonopoli tersebut, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (26/1/2023).

Dalam hal ini, Google yang bisnis periklanannya menyumbang sekitar 80 persen dari pendapatan perusahaan, merespons tuduhan itu, dengan mengatakan bahwa pemerintah menggandakan argumen cacat yang akan memperlambat inovasi, menaikkan biaya iklan, serta mempersulit pertumbuhan ribuan usaha kecil dan penerbit.

Pemerintah federal mengatakan penyelidikan dan tuntutan hukum 'Big Tech' ini ditujukan untuk menyamakan kedudukan bagi saingan yang lebih kecil ke sekelompok perusahaan kuat, mencakup Amazon.com (AMZN.O), pemilik Facebook Meta Platforms (META.O) dan Apple Inc. (AAPL.O).

"Dengan menggugat Google karena memonopoli teknologi periklanan (iklan digital), Departemen Kehakiman membidik jantung kekuatan raksasa internet itu," kata Charlotte Slaiman, direktur kebijakan persaingan Public Knowledge.

"Keluhan tersebut memaparkan banyak strategi antipersaingan dari Google yang telah menahan ekosistem internet kami," sambungnya.

Gugatan yang diajukan baru-baru ini oleh pemerintahan Presiden Joe Biden, merupakan kelanjutan gugatan antimonopoli tahun 2020 yang diajukan terhadap Google selama masa jabatan Donald Trump.

Gugatan tahun 2020 menuduh pelanggaran undang-undang antimonopoli tentang bagaimana Google memperoleh atau mempertahankan dominasinya dengan monopoli dalam mesin pencarian online dan dijadwalkan untuk diadili pada bulan September.

2 dari 5 halaman

Gugatan 8 Negara Bagian

Delapan negara bagian di AS bergabung dalam gugatan ini, termasuk negara bagian yang menjadi markas besar Google yaitu California.

Jaksa Agung Negara Bagian California Rob Bonta mengatakan bahwa praktik Google telah "mencekik kreativitas di ruang inovasi yang sangat penting."

Sementara Jaksa Agung Colorado Phil Weiser mengatakan bahwa dominasi Google menyebabkan biaya yang lebih tinggi untuk pengiklan dan sedikit keuntungan untuk penerbit dengan ruang iklan untuk ditawarkan.

"Kami mengambil tindakan dengan mengajukan gugatan ini untuk melepaskan monopoli Google dan memulihkan persaingan bisnis periklanan digital," katanya dalam sebuah pernyataan.

Bersamaan dengan gugatan ini saham Google langsung turun 1,9 persen pada Selasa (24/1/2023).

Selain mesin pencariannya yang sangat populer, Google menghasilkan pendapatan melalui bisnis teknologi iklan yang saling berkaitan. Pemerintah meminta divestasi paket Google Ad Manager, termasuk pertukaran iklan Google, AdX.

Google Ad Manager adalah seperangkat alat yang memungkinkan situs web menawarkan ruang iklan untuk dijual dan pertukaran yang melayani pasar untuk mencocokkan pengiklan dengan penerbit.

Pengiklan dan penerbit situs web mengeluh Google tidak transparan tentang ke mana perginya uang iklan, khususnya berapa banyak yang masuk ke penerbit dan berapa banyak ke Google.

3 dari 5 halaman

Bisnis Senilai Rp 478 Triliun

Gugatan tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang produk tertentu di 'tumpukan teknologi iklan', di mana penerbit dan pengiklan menggunakan alat Google untuk membeli dan menjual ruang iklan di situs web lain.

Bisnis itu dilaporkan bernilai sekitar US$ 31,7 miliar atau sekitar Rp 478 triliun pada tahun 2021 atau 12,3 persen dari total pendapatan Google. Sekitar 70 persen dari pendapatan itu masuk ke penerbit.

"Divestasi teknologi iklan mungkin bukan pengubah permainan tetapi bisa jadi sangat penting untuk kemampuan penargetan iklan Google," kata Paul Gallant dari Cowen Washington Research Group.

"Ini terhubung ke semua bisnis Google lainnya dan saling mengikat. Saya pikir Google mungkin lebih khawatir tentang kehilangan teknologi iklan daripada yang mungkin dipikirkan orang," kata Gallant.

Perusahaan melakukan serangkaian akuisisi, termasuk DoubleClick pada tahun 2008 dan AdMob pada 2009, untuk membuatnya menjadi pemain dominan dalam periklanan digital.

 

4 dari 5 halaman

Proyek Poirot

Menurut Insider Intelligence, meski Google tetap menjadi pemimpin pasar dalam jangka panjang, namun pendapatan iklan digital AS telah terkikis--turun menjadi 28,8 persen tahun lalu dari 36,7 peresn pada 2016.

Departemen Kehakiman meminta juri untuk memutuskan kasus tersebut, yang diajukan ke Pengadilan Distrik AS untuk Distrik Timur Virginia.

Gugatan itu menjabarkan sejumlah upaya Google untuk mendominasi pasar periklanan. Keluhan tersebut menjabarkan serangkaian proyek, salah satunya 'Proyek Poirot' yang dinamai sesuai nama detektif ulung Agatha Christie, Hercule Poirot.

Proyek itu dirancang untuk mengidentifikasi dan merespons secara efektif pertukaran iklan yang telah mengadopsi header bidding technology.

Keluhan setebal 149 halaman ini mengatakan pertumbuhan bisnis iklan Google berlipat ganda setelah keberhasilan awal Proyek Poirot dalam memanipulasi pengeluaran pengiklannya untuk mengurangi persaingan dari pertukaran iklan saingan.

"Para pesaing Google: AppNexus/Xandr kehilangan 31 persen dari pengeluaran pengiklan DV360, Rubicon akan kehilangan 22 persen, OpenX akan kehilangan 42 persen, dan Pubmatic akan kehilangan 26 persen," demikian isi dari keluhan monopoli tersebut.

5 dari 5 halaman

Infografis Google dan Facebook (Liputan6.com/Abdillah)