Sukses

Studi: Bumi Akan Lewati Ambang Batas Iklim Kritis Meski Emisi Menurun

Bumi berada dalam bahaya besar untuk mencapai ambang batas iklim yang kritis meskipun terjadi penurunan emisi, menurut sebuah studi terbaru dari Stanford University.

Liputan6.com, Jakarta - Bumi berada dalam bahaya besar untuk mencapai ambang batas iklim yang kritis meskipun terjadi penurunan emisi, menurut sebuah studi terbaru dari Stanford University.

Studi yang terbit di Proceedings of the National Academy of Sciences ini menggunakan kecerdasan buatan untuk memprediksi perubahan iklim dengan memakai data pengamatan suhu terkini dari seluruh dunia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terlepas dari bagaimana emisi gas rumah kaca berubah dalam dekade mendatang, pemanasan global pada awal tahun 2030-an akan mencapai 1,5 derajat Celcius di atas rata-rata pra-industri.

Penulis utama studi dan peneliti iklim dari Stanford University, Noah Diffenbaugh, mengatakan, "Dengan menggunakan pendekatan yang sepenuhnya baru yang bergantung pada kondisi sistem iklim saat ini untuk membuat prediksi tentang masa depan, kami mengonfirmasi bahwa dunia sedang berada di ambang batas 1,5 derajat Celcius."

Jika emisi tetap tinggi, kecerdasan buatan memprediksi satu dari dua peluang bahwa Bumi akan menjadi 2 derajat Celcius lebih panas rata-rata dibandingkan dengan masa pra-industri pada pertengahan abad ini, dan lebih dari empat dari lima peluang untuk mencapai ambang batas tersebut pada tahun 2060.

Bahkan, jika emisi menurun dalam beberapa dekade mendatang, kecerdasan buatan memprediksi bahwa dunia masih mungkin mencapai ambang batas 2 derajat Celcius.

Temuan ini bertentangan dengan penilaian otoritatif lainnya, termasuk laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, yang menyimpulkan bahwa batas 2 derajat tidak mungkin tercapai jika emisi menurun hingga nol sebelum tahun 2080.

 

2 dari 4 halaman

Perjanjian Paris

Melewati ambang batas 1,5 derajat Celcius dan 2 derajat Celcius berarti gagal dalam mencapai tujuan Perjanjian Paris 2015; di perjanjian itu negara-negara telah bersepakat untuk menjaga pemanasan global "jauh di bawah" 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri dan membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius.

Setiap sepersekian derajat pemanasan global, menurut studi ini, diperkirakan akan meningkatkan konsekuensi bagi manusia dan ekosistem, yang mengarah pada dampak yang parah dan meluas di atas 2 derajat Celcius. Namun, perubahan iklim yang lebih ekstrem masih dapat dicegah dengan mengurangi jumlah karbon dioksida, metana, dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer dengan cepat.

Banyak negara, termasuk Tiongkok, Uni Eropa, India, dan Amerika Serikat, serta aktor-aktor non-negara seperti Universitas Stanford, telah berjanji untuk mencapai emisi nol pada tahun 2050 hingga 2070.

 

3 dari 4 halaman

Jaringan saraf tiruan

Diffenbaugh mengatakan, "Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa janji ambisius tersebut mungkin diperlukan untuk menghindari 2 derajat Celcius ."

Penelitian ini menggunakan kecerdasan buatan yang dikenal sebagai jaringan saraf tiruan (artificial neural network), yang dilatih berdasarkan hasil simulasi model iklim global yang banyak digunakan.

Para peneliti kemudian menantang kecerdasan buatan untuk memprediksi jumlah tahun hingga ambang batas suhu yang diberikan akan tercapai berdasarkan peta anomali suhu tahunan yang sebenarnya. Akurasi model diuji dengan memintanya untuk memprediksi tingkat pemanasan global saat ini, dan berhasil.

Sebagai kesimpulan, penelitian ini menyoroti urgensi pengurangan emisi untuk mencegah Bumi melewati ambang batas iklim yang kritis.

Terungkap bahwa meskipun emisi menurun, dunia masih mungkin mencapai ambang batas 2 C, yang akan menimbulkan konsekuensi yang parah dan meluas bagi manusia dan ekosistem. Sangat penting bagi negara-negara dan aktor non-negara untuk segera mengambil tindakan untuk mengurangi emisi dan mencegah kerusakan lebih lanjut pada planet ini.

4 dari 4 halaman

Infografis Asteroid-Asteroid Pengancam Bumi. (Liputan6.com/Trieyasni)