Sukses

Pemerintah AS Disebut Desak ByteDance Pilih Jual TikTok atau Diblokir

Pemerintah AS dikabarkan meminta ByteDance memilih untuk menjual TikTok, atau harus dilarang di negara itu

Liputan6.com, Jakarta - Jalan terjal TikTok demi bisa beroperasi di Amerika Serikat (AS) belum usai. Sebuah laporan menyebutkan, pemerintah meminta ByteDance untuk menjual platform tersebut atau terpaksa diblokir.

Kabar ini pertama kali diberitakan oleh The Wall Street Journal dan kemudian oleh The New York Times.

Dilansir The Verge, dikutip Jumat (15/3/2023), ancaman pemerintahan Joe Biden ini merupakan eskalasi dari larangan terbatas, serta undang-undang tertunda yang telah menggelembung selama beberapa waktu.

Akhir Februari 2023, Gedung Putih mengatakan, lembaga federal punya waktu 30 hari untuk menghapus aplikasi TikTok dari perangkat pemerintah. Pembatasan serupa telah menyebar ke puluhan negara bagian AS.

RUU yang diperkenalkan awal bulan ini akan memberikan Kementerian Perdagangan AS, kuasa untuk melarang perusahaan asing beroperasi di sana jika ada ancaman keamanan nasional.

Seperti yang diketahui, ancaman keamanan nasional menjadi alasan beberapa pejabat, yang menilai platform berbagi video asal Tiongkok itu harus dilarang.

Di sisi lain, TikTok menegaskan data pengguna tidak disimpan di Tiongkok. Mereka juga mengusulkan kesepakatan dengan pemerintah, yang akan membatasi operasional AS dari ByteDance, untuk mengurangi kekhawatiran.

Wall Street Journal di bulan Desember melaporkan, negosiasi antara TikTok dan pemerintah telah terhenti. Masa depan kesepakatan itu pun menjadi tidak pasti.

Juru bicara TikTok Brooke Oberwetter kepada Reuters mengatakan "jika melindungi keamanan nasional adalah tujuannya, divestasi tidak menyelesaikan masalah: perubahan kepemilikan tidak akan memaksa pembatasan baru pada aliran atau akses data."

Sementara itu, soal kabar tersebut, mengutip New York Post, Gedung Putih belum mengeluarkan pernyataan resmi.

Tekanan dari pemerintah AS ini terjadi jelang TikTok yang akan menjawab pertanyaan tentang operasional mereka dan hubungannya dengan pemerintah Tiongkok. CEO Shou Zi Chew, direncanakan akan berbicara di Kongres AS pada pekan depan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

TikTok Sudah Buka Data untuk Peneliti AS

TikTok sendiri sebelumnya sudah melakukan beberapa upaya agar tetap bisa beroperasi di Negeri Paman Sam. Misalnya dengan meluncurkan API khusus untuk keperluan penelitian dan mulai memberi lebih banyak orang akses ke datanya.

Menurut induk perusahaan ByteDance, hal ini sebagai bagian dari komitmen berkelanjutan terhadap transparansi dan akuntabilitas.

Antarmuka pemrograman aplikasi (application programming interface/API) adalah perangkat lunak yang memungkinkan sejumlah program komputer (dua atau lebih) untuk berkomunikasi satu sama lain.

Mengutip Engadget, Rabu (22/2/2023), TikTok telah menguji beta API-nya sejak tahun lalu dengan bantuan dari anggota Dewan Penasihat Konten dan Keamanannya.

Saat ini perusahaan tengah memperluas ketersediaan API untuk para peneliti yang berafiliasi dengan lembaga akademik nirlaba di Amerika Serikat (AS).

Setiap proposal yang diajukan oleh universitas dan peneliti yang berminat harus disetujui oleh divisi Keamanan Data AS (US Data Security/USDS), anak perusahaan baru TikTok yang didirikan untuk mematuhi tinjauan keamanan nasional di AS.

Mereka yang disetujui akan mendapatkan akses ke akun publik dan informasi konten yang diposkan pengguna di aplikasi, seperti detail yang ditemukan di profil pengguna, komentar, suka, dan favorit.

 

3 dari 4 halaman

Bisa Memberikan Peneliti Pandangan

API TikTok dapat memberi peneliti pandangan tentang penggunaan media sosial generasi muda dan sumber informasi alternatif secara keseluruhan.

Jejaring sosial lain juga menawarkan API penelitian, tetapi setidaknya dalam kasus Twitter, orang harus membayar untuk dapat menggunakannya.

Layanan ini memberikan ruang ke lebih banyak orang untuk melihat data TikTok, di mana perusahaan berusaha mati-matian untuk membuktikan bahwa aplikasi besutannya bukanlah ancaman bagi keamanan nasional AS.

Upaya TikTok untuk bernegosiasi dengan pemerintah AS telah menghabiskan waktu bertahun-tahun.

Namun, beberapa negara bagian AS baru-baru ini melarang penginstalan aplikasi di ponsel milik pemerintah, dan masih menghadapi seruan untuk larangan total di negara tersebut.

4 dari 4 halaman

Komisi Eropa Larang Pegawai Pasang TikTok

Tak cuma AS, Badan eksekutif Uni Eropa, Komisi Eropa (European Commission), meminta pegawainya untuk tidak memasang aplikasi jejaring sosial dan berbagi video populer, TikTok, di perangkat kerjanya.

Para staf pun diminta untuk menghapus aplikasi besutan ByteDance tersebut dari HP atau tablet pribadi yang menjadi bagian dari layanan perangkat selulernya, atau dalam hal ini perangkat apa pun yang dipakai untuk bekerja.

"Langkah ini bertujuan untuk melindungi Komisi dari ancaman dan tindakan keamanan siber yang dapat dieksploitasi untuk serangan siber terhadap lingkungan korporat Komisi," kata Komisi Eropa dalam pernyataannya.

"Pengembangan keamanan platform media sosial lainnya juga akan terus ditinjau," tambah Komisi Eropa, seperti dikutip dari Engadget, Sabtu (25/2/2023).

Menurut laporan dari BBC, sekitar 32 ribu pekerja kontrak dan tetap di Komisi Eropa, diminta untuk sesegera mungkin menghapus aplikasi TikTok dari perangkatnya, paling lambat 15 Maret 2023.

Apabila tidak mematuhi aturan itu, pegawai Komisi Eropa tersebut bakal kehilangan akses ke aplikasi perusahaan, termasuk layanan email Komisi Eropa dan Skype for Business.

Menanggapi hal tersebut, TikTok mengatakan penangguhan ini adalah sesuatu yang "salah arah dan berdasarkan miskonsepsi yang mendasar."

(Dio/Ysl)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.