Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi mengungkapkan, hanya 39 persen dari organisasi di Indonesia yang benar-benar siap dalam menghadapi ancaman keamanan siber.
Dalam laporan Cybersecurity Readiness Index Cisco mencatat, cuma 39 persen organisasi di Indonesia yang kesiapannya di level "matang", yang dibutuhkan dalam menghadapi risiko keamanan siber modern saat ini.
Baca Juga
Indeks ini dikembangkan dengan latar belakang dunia hybrid pasca Covid-19, di mana pengguna dan data harus diamankan dimanapun pekerjaan dilakukan.
Advertisement
Laporan Cisco ini juga menyoroti dimana bisnis berjalan dengan baik, dan di mana kesenjangan kesiapan keamanan siber akan melebar jika bisnis global dan pemimpin keamanan tidak mengambil tindakan.
Laporan yang bertajuk Cisco Cybersecurity Readiness Index: Resilience in a Hybrid World ini mengukur kesiapan perusahaan-perusahaan dalam menjaga daya tahan keamanan siber dalam menghadapi ancaman siber modern.
Pengukuran mencakup lima pilar utama yang menbentuk garis dasar pertahanan yang dibutuhkan. Lima pilar ini adalah identitas, perangkat, jaringan, beban kerja aplikasi dan data, serta meliputi 19 solusi berbeda dalam pilar-pilar tersebut.
Mengutip siaran pers, Kamis (30/3/2023), pihak ketiga independen melakukan double-blind survey, dengan mengajukan pertanyaan ke 6.700 pimpinan keamanan siber di sektor swasta di 27 negara.
Hal ini untuk menunjukkan solusi mana yang sudah mereka terapkan dan tahap implementasinya. Perusahaan yang disurvei kemudian dikelompokkan dalam empat tingkat kesiapan, yakni Pemula, Formatif, Progresif dan Matang.
Indonesia Paling Matang, Tapi Masih Rendah
Pemula memiliki skor kurang dari 10, sementara Formatif berada di skor 11-44. Progresif adalah mereka yang berada di skor antara 45-75, sementara Matang adalah mereka yang memiliki nilai 76 dan lebih tinggi.
Menurut Cisco, mereka yang sudah Matang, adalah perusahaan yang sudah mencapai tingkat implementasi tingkat lanjut, dan paling siap dalam mengatasi risiko keamanan.
Indonesia berada di tingkat teratas dunia dalam hal kematangan (39 persen), dengan kinerja jauh di atas rata-rata global 15 persen, terkait kesiapan keamanan siber.
Sekitar 28 perusahaan di Indonesia berada di tingkat Pemula atau Formatif. Meski kondisi ini lebih baik dibandingkan rata-rata global, namun menurut Cisco, jumlahnya masih sangat rendah mengingat risikonya.
Menurut Cisco, kesenjangan kesiapan ini terlihat jelas, karena 96 persen responden memperkirakan insiden keamanan siber akan mengganggu bisnis mereka dalam 12 hingga 24 bulan ke depan.
Â
Â
Advertisement
Kerugian Bisa Sangat Besar Jika Tidak Siap
Biaya yang dikeluarkan juga karena ketidaksiapan bisa sangat besar, karena 55 persen dari responden mengaku mengalami insiden keamanan siber dalam 12 bulan terakhir.
Selain itu, 35 persen dari mereka yang terdampak mengatakan insiden tersebut merugikan setidaknya USD 500 ribu.
Jeetu Patel, Executive Vice President dan General Manager of Security and Collaboration Cisco mengatakan, peralihan ke dunia hibrid pada dasarnya telah mengubah lanskap bagi perusahaan dan menciptakan kompleksitas keamanan siber yang lebih besar.
"Organisasi-organisasi harus berhenti melakukan pendekatan pertahanan denganmenggabungkan alat-alat dengan fungsi khusus, dan sebagai gantinya mempertimbangkan platform terintegrasi untuk mencapai ketahanan keamanan sekaligus mengurangi kompleksitas."
"Hanya dengan begitu bisnis dapat menutup kesenjangan kesiapan keamanan siber," imbuh Jeetu.
Para pimpinan bisnis pun dianggap harus menetapkan grais dasar kesiapan di lima pilar keamanan untuk membangun organisasi yang aman dan tangguh.
Ini sangat penting mengingat 93 persen responden berencana meningkatkan anggaran keamanan mereka, setidaknya 10 persen dalam 12 bulan ke depan.
Â
Keamanan Siber Terus Jadi Prioritas
Dengan membangun basis, organisasi dapat membangun kekuatan mereka dan memprioritaskan area mana yang membutuhkan lebih banyak kematangan danmeningkatkan daya tahan mereka.
Marina Kacaribu, Managing Director, Cisco Indonesia mengatakan, keamanan siber saat ini terus jadi prioritas utama pemerintah dan berbagai perusahaan di Indonesia.
"Dengan banyaknya layanan yang mengutamakan aplikasi saat ini, dan Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan digital ekonomi tercepat di Asia Tenggara, lebih banyak yang harus dilakukan untuk menutup kesenjangan kesiapan keamanan tersebut,"Â Kacaribu memungkaskan.Â
Advertisement