Liputan6.com, Jakarta - Kemunculan ChatGPTÂ dan beberapa chatbot AI lainnya disebut telah membawa babak baru dalam penggunaan internet. Karenanya, banyak pengguna yang baru mulai memahami potensi alat ini, termasuk beberapa di antaranya adalah pelajar.
Salah satunya diungkap dari laporan BBC News seperti dikutip dari Ubergizmo, Kamis (13/4/2023). Dalam laporan itu, beberapa mahasiswa mengaku telah menggunakan ChatGPT untuk membantu mereka menggarap tugas esai.
Baca Juga
Laporan itu juga mengungkapkan bahwa mahasiswa yang mendapatkan nilai terbaik pun telah dibantu oleh chatbot populer tersebut.
Advertisement
Dalam keterangannya, mahasiswa yang tidak ingin disebutkan namanya ini menggunakan ChatGPT untuk membantunya menulis esai sepanjang 2.500 kata pada bulan Januari. Hebatnya, esai yang digarap dengan AIÂ tersebut menerima nilai first-class atau kelas satu.
Nilai tersebut pun merupakan kelas nilai tertinggi yang mampu dicapai seorang mahasiswa di Universitas Cardiff.
Mahasiswa tersebut menyatakan, ia tidak menggunakan alat ini untuk membuat keseluruhan esai. Namun, untuk mengajukan pertanyaan yang memberinya akses ke informasi dengan lebih cepat dari biasanya.Â
Meskipun penggunaan chatbot AI oleh mahasiswa dapat menghadirkan tantangan bagi tenaga pendidik, penanganan pihak perguruan tinggi atas inovasi ini belum menunjukkan titik terang.
Untuk menghindari tindak kecurangan dengan alat semacam ini, universitas mungkin perlu melakukan lebih banyak tes esai secara real-time dibandingkan tugas esai yang ditulis di rumah.Â
Di sisi lain, penggunaan ChatGPT dalam pendidikan telah menimbulkan kekhawatiran dan tantangan baru. Karenanya, sekolah dan perguruan tinggi perlu mencari cara untuk menghadapi masalah ini.Â
Turnitin Luncurkan Teknologi AI untuk Deteksi Tulisan yang Dibuat Pakai ChatGPT
Guna mengatasi tantangan ini, sebuah penyedia layanan integritas akademik Turnitin, meluncurkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), untuk mendeteksi tulisan yang dibuat dengan ChatGPT di kalangan siswa.
Menurut perusahaan, teknologi ini akan mengidentifikasi penggunaan perangkat penulisan berbasis AI, termasuk ChatGPT, di kalangan siswa.
Turnitin mengklaim, teknologi AI ini memiliki tingkat kepercayaan 98 persen, sehingga membantu para pengajar menganalisis dan meninjau keaslian sebuah karya akademik.
Mengutip siaran pers, Jumat (7/4/2023), Turnitin mulai menggarap kemampuan deteksi untuk GPT-3, teknologi yang menjadi dasar banyak aplikasi penulisan berbasis AI, sejak sekitar dua tahun sebelum ChatGPT OpenAI rilis.
Teknologi ini dikembangkan untuk membantu pengajar dan lembaga akademik mengidentifikasi keberadaan teks yang dihasilkan AI, dalam tulisan siswa.
Turnitin pun menyebut, sudah ada lebih dari 10.700 lembaga pendidikan dan lebih dari 2,1 juta pengajar, yang akan dapat dengan cepat dan mudah mengevaluasi keberadaan teks yang dihasilkan AI.
Untuk cara kerjanya, Detektor AI Turnitin memberikan ukuran evaluatif tentang berapa banyak kalimat dalam tulisan yang dikirim, yang bisa jadi dihasilkan oleh kecerdasan buatan.
Advertisement
Sisi Terang dan Kelam ChatGPT Bagi Dunia Pendidikan
Sebelumnya, Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) Prof. Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, AI pada dasarnya dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia karena memiliki transformational power yang luar biasa.
Hal ini mulai dari aspek pendidikan, kesehatan, perekonomian, kebijakan publik, governance, dan lainnya.
"Namun, seperti halnya hal-hal baru di dunia ini, selain membawa kebaruan dan keuntungan, ternyata AI juga membuka jendela bagi hal-hal yang berpotensi distruptif," kata Harkristuti dalam webinar bertajuk Etika Penggunaan ChatGPT di Lingkungan Akademik.
Di sisi terangnya, teknologi AI ini menghadirkan kemampuan yang luar biasa bagi para pembelajar di dunia pendidikan. Namun, sisi kelamnya akan muncul baik dari aspek keterbatasan teknologi, persoalan etika, bahkan terbelenggunya sisi kemanusiaan.
Guru Besar Fakultas Ilmu Komputer UI, Prof. Heru Suhartanto mengatakan, dari sisi manfaat, ada sekitar 80 cara untuk memanfaatkan ChatGPT di ruang kelas, dengan kemampuan, kecepatan, dan akurasi penyediaan informasi.
Dampak Negatif Penggunaan ChatGPT
Di sisi lain, misinformasi, disinformasi, dan malinformasi, menjadi sisi gelap ChatGPT yang harus diperhatikan, karena berdampak pada persoalan hukum dan etika. Persoalan hukum yang bertingkat pada level kebijakan global dan nasional pun juga telah diidentifikasi.
Menurut para pakar, beberapa dampak buruk penggunaan ChatGPT akurasi yang tidak 100 persen, karena data yang diambil dari internet kurang lengkap. Ketidaklengkapan ini bisa disebabkan karena kurangnya konteks.
Walau cerdas, menurut Guru Besar Fasilkom UI Prof. Wisnu Jatmiko, ChatGPT masih bisa salah memahami konteks, sehingga menghasilkan output yang tidak benar.
Selain itu, pemanfaatan ChatGPT yang kurang tepat, juga berisiko menumpulkan pemikiran kritis mahasiswa. Padahal menurut Wisnu, salah satu hal yang paling berharga dan bisa dikembangkan oleh mahasiswa adalah pemikiran kritis.
Advertisement