Sukses

Gerhana Matahari Hibrida 20 April 2023, BRIN Bakal Lakukan Sejumlah Penelitian

BRIN mengungkapkan sejumlah penelitian yang akan dilakukan dalam momen Gerhana Matahari Hibrida pada 20 April 2023 mendatang

Liputan6.com, Jakarta - Jelang gerhana matahari hibrida pada 20 April mendatang atau jelang Lebaran, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa mereka melakukan sejumlah riset.

Gerhana Matahari Hibrida adalah ketika dalam satu waktu fenomena gerhana, ada daerah yang mengalami Gerhana Matahari Total dan ada juga yang mengalami Gerhana Matahari Cincin.

Kejadian tersebut disebabkan oleh kelengkungan Bumi. Indonesia sudah mengalami beberapa gerhana matahari yaitu di 1983 terjadi Gerhana Matahari Total, Gerhana Matahari Cincin di 2019, dan Gerhana Matahari Total di 2016.

Kepala Pusat Riset Antariksa BRIN, Emanuel Sungging mengatakan, fenomena yang cukup langka ini menjadi momen yang baik untuk melakukan riset antariksa.

Mengutip laman resmi BRIN, Kamis (13/4/2023), Sungging dan timnya juga akan melakukan pengamatan di Biak Numfor, yang berada tepat di lintasan gerhana matahari.

Ada tiga hal yang dilakukan yaitu riset terkait korona, dampak gerhana pada ionosfer, serta perubahan kecerlangan. Sungging menjelaskan, untuk mengukur korona akan menggunakan indeks flattening Ludendorf agar dapat melihat bentuk dan struktur korona.

Nilai indeks yang dihasilkan akan diturunkan untuk mengidentifikasi aktivitas magnetik dan memprediksi siklus matahari.

Indeks flattening Ludendorf sendiri merupakan parameter kuantitatif untuk menganalisis bentuk dan struktur korona global. Indeks ini juga menjadi salah satu indikator parameter medan magnetik Matahari dalam jangka panjang.

"Dengan menggunakan alat sederhana, kami akan mengukur dinamika ionosfer," kata peneliti ahli madya BRIN itu.

2 dari 4 halaman

Manfaatkan Momen untuk Riset Sesuai Disiplin Ilmu

Menurutnya, ionosfer ini penting karena sangat berdampak pada akurasi GPS dan juga terkait komunikasi terutama komunikasi maritim yang menggunakan kanal HF (High Frequency).

"Kami akan melihat pada saat terjadinya gerhana ini ada gangguan atau tidak," pungkasnya Dalam Gelar Wicara Gerhana Matahari Hibrida 2023 di Planetarium Jakarta Taman Ismail Marzuki beberapa waktu lalu.

Sungging mengatakan riset disiplin ilmu lain juga dapat memanfaatkan momen ini untuk penelitian terkait disiplin ilmu masing-masing.

Peneliti dari disiplin ilmu hayati misalnya, dapat ikut meneliti apakah ada pengaruh proses terjadinya gerhana matahari terhadap perilaku makhluk hidup baik itu tumbuhan atau hewan.

"Selain itu seperti di bidang ilmu sosial, peneliti di bidang tersebut juga dapat melakukan penelitian etnoastronomis, terkait bagaimana budaya yang timbul di masyarakat terkait adanya gerhana matahari hibrida," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Pengamatan Gerhana Matahari dari Tengah Laut

Selain itu, momen ini juga dinilai membawa kesempatan untuk melakukan kolaborasi lintas disiplin.

Salah satunya dilakukan Premana W. Premadi, pengajar di Astronomi ITB, yang bersama timnya mendapatkan kesempatan bekerja sama dengan Pusat Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal).

Mereka akan melakukan pengamatan gerhana matahari dari laut. Hal ini diharapkan akan membawa data-data baru mengenai pengamatan Gerhana Matahari dari tengah laut.

"Kami tertarik untuk melihat apakah ada perubahan suara-suara yang dihasilkan biota dan mamalia laut selama terjadinya Gerhana Matahari Hibrida ini," kata Ketua Panitia Ekspedisi Jala Citra 3 Flores 2023, Kolonel Laut Priyo Dwi Saputro.

"Kami juga tertarik untuk melihat bagaimana dampak terpengaruhinya ionosfer bagi komunikasi HF, apalagi kami di laut cukup bergantung pada frekuensi ini," imbuh Priyo.

4 dari 4 halaman

Jangan Langsung Lihat ke Arah Matahari

Meski begitu, bagi masyarakat, Premadi mengingatkan bahwa jika ingin mengamati gerhana matahari hibrida, jangan sekali-kali melihat secara langsung atau kasat mata, ke arah matahari atau fenomena yang menyertainya.

"Apalagi jika menggunakan peranti optis seperti binokuler atau teleskop, harus disertai dengan filter khusus matahari (solar filter)," kata mantan Kepala Observatorium Bosscha ITB tersebut.

"Pengamatan tanpa filter matahari dapat membuat gangguan kesehatan mata secara serius, bahkan pada taraf tertentu dapat menyebabkan kebutaan," imbuhnya.

Gerhana Matahari Hibrida pada 20 April mendatang, akan berlangsung selama 3 jam 5 menit, mulai dari durasi kontak awal hingga akhir jika diamati dari Biak, dengan durasi fase tertutup total 58 detik.

Jika diamati dari Jakarta, durasi dari kontak awal hingga akhir adalah 2 jam 37 menit. Namun jika diamati dari Jakarta, persentase tertutupnya matahari hanya sebesar 39 persen.

(Dio/Isk)