Sukses

Profesor Ini Ubah Burung Mati Jadi Drone untuk Pelajari Satwa dan Pengembangan Industri Penerbangan

Seorang profesor di New Mexico telah mengambil pendekatan yang tidak biasa dalam pemantauan satwa liar dengan mengubah burung taksidermi menjadi drone.

Liputan6.com, Jakarta - Seorang profesor di New Mexico telah mengambil pendekatan yang tidak biasa dalam pemantauan satwa liar dengan mengubah burung taksidermi menjadi drone.

Dr. Mostafa Hassanalian memutuskan untuk mengembangkan proyek unik ini setelah menemukan bahwa model drone burung mekanik tidak dapat terbang dengan efisiensi setinggi burung sungguhan.

Untuk diketahui, taksidermi merupakan praktik melestarikan hewan mati dengan proses pengawetan tubuh hewan dalam kondisi yang mirip ketika saat hidup. 

“Satu-satunya hal yang kita perlu berikan kepada mereka untuk membuat mereka hidup adalah merancang mekanisme gesekan, memasukkannya ke dalam tubuh mereka,” ujar Hassanalian kepada Reuters yang dikutip dari New York Post, Selasa (18/4/2023).

Profesor dan murid-muridnya menghitung berat, frekuensi kepakan, dan sudur kepakan yang dimiliki burung saat masih hidup untuk menciptakan kemampuan serupa. Cara tersebut merupakan reverse engineering atau rekayasa terbalik.

Menurut Hassanalian, para ilmuwan berharap dapat menggunakan burung mati ini untuk mempelajari formasi dan pola terbang burung, yang nantinya dapat diterapkan pada industri penerbangan.

Sayangnya, drone burung taksidermi belum bisa diterbangkan bersama kawanan asli sehingga masih diuji dalam sangkar dengan burung mekanik palsu. 

“Pada dasarnya, jika kita mempelajari bagaimana burung-burung ini mengelola energi di antara mereka sendiri, kita dapat menerapkannya ke dalam industri penerbangan masa depan untuk menghemat lebih banyak energi dan lebih banyak bahan bakar,” ungkap Hassanalian.

2 dari 4 halaman

Teknologi Drone Burung Taksidermi Dikhawatirkan Melanggar Privasi

Terlepas dari manfaat pengembangan teknologi ini, penggunaan drone telah menimbulkan masalah privasi. Hal ini pun sangat disadari oleh Hassanalian.

Drone tersebut dikhawatirkan akan digunakan sebagai tujuan pengawasan militer atau penegak hukum. 

Hassanalian mengungkapkan, fokus para peneliti adalah untuk memahami satwa liar atau memantau burung, bukan pada jenis tujuan militer lainnya. 

Menurutnya, ia dan tim akan terus mengerjakan proyek ini selama dua tahun ke depan. Tahap selanjutnya adalah mencari tahu bagaimana membuat drone burung taksidermi terbang lebih lama dari 20 menit seperti prototipe saat ini. 

Sementara itu, Brenden Herkenhoff, Ph.D. mahasiswa di New Mexico Tech, memfokuskan penelitiannya pada bio-inspirasi, terutama mengamati pewarnaan dan efisiensi penerbangan untuk berbagai jenis drone dan pesawat lainnya.

“Kami telah melakukan eksperimen dan menemukan bahwa untuk pesawat sayap tetap, menerapkan warna tertentu dapat mengubah efisiensi penerbangan. Dan kami percaya hal yang sama berlaku untuk burung,”katanya.

Eksperimen tersebut dilakukan untuk meningkatkan efektivitas drone burung taksidermi pada model dengan daya tahan terbang yang lebih lama.

3 dari 4 halaman

Peneliti MIT Kembangkan Sistem Baru untuk Cegah Tabrakan Drone

Di sisi lain, sebuah tim peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) telah mengembangkan perencana lintasan multi-agen untuk drone yang menghasilkan lintasan bebas tabrakan, bahkan ketika komunikasi antar agen tertunda.

Sistem yang disebut Robust MADER ini memungkinkan drone untuk membuat lintasan yang optimal dan bebas tabrakan dengan adanya drone lain yang mungkin menempati wilayah udara yang sama.

Sistem ini dikembangkan sebagai jawaban atas tantangan yang dihadapi saat menguji sistem awal, Multi-Agent Decomposed Evaluation of Risk (MADER), pada drone sungguhan.

Para peneliti menemukan bahwa jika sebuah drone tidak memiliki informasi terkini tentang lintasan rekan-rekannya, drone tersebut mungkin secara tidak sengaja memilih jalur yang mengarah ke tabrakan.

MADER menggabungkan langkah penundaan-pemeriksaan yang mencegah tabrakan semacam itu. Selama periode pemeriksaan penundaan, drone menghabiskan waktu tertentu untuk memeriksa komunikasi dari drone lain untuk melihat apakah lintasan barunya aman.

Jika mendeteksi potensi tabrakan, drone akan meninggalkan lintasan baru dan memulai proses pengoptimalan dari awal.

MADER adalah perencana lintasan asinkron, terdesentralisasi, dan multi-agen yang mengoptimalkan lintasan bebas tabrakan menggunakan algoritme yang menggabungkan lintasan yang diterima dari agen lain.

Dengan terus mengoptimalkan dan menyiarkan lintasan baru mereka, drone dapat menghindari tabrakan. Berbekal Robust MADER, setiap drone merumuskan lintasannya, dan meskipun semua agen harus menyetujui setiap lintasan baru, mereka tidak perlu setuju pada saat yang bersamaan.

4 dari 4 halaman

Lebih Terukur

Para peneliti menemukan bahwa hal ini membuat MADER lebih terukur daripada pendekatan lain, terutama di lingkungan dunia nyata di mana drone dapat terbang jauh dari komputer pusat.

Para peneliti menguji Robust MADER dengan menjalankan ratusan simulasi di mana mereka secara artifisial memperkenalkan penundaan komunikasi.

Dalam setiap simulasi, Robust MADER 100 persen berhasil menghasilkan lintasan bebas tabrakan, sementara semua garis dasar menyebabkan tabrakan.

Mereka juga membuat enam drone dan dua rintangan udara dan menguji Robust MADER di lingkungan penerbangan multi-agen.

Mereka menemukan bahwa ketika menggunakan versi asli MADER di lingkungan ini akan mengakibatkan tujuh tabrakan, Robust MADER tidak menyebabkan satu pun tabrakan dalam percobaan perangkat keras.

Drone mampu terbang 3,4 meter per detik dengan Robust MADER, meskipun waktu tempuhnya sedikit lebih lama daripada beberapa metode sebelumnya. Namun, tidak ada metode lain yang benar-benar bebas tabrakan dalam setiap percobaan.