Liputan6.com, Jakarta - Layanan Fixed Mobile Convergence (FMC) yang kini menjadi lini bisnis baru bagi operator telekomunikasi di Indonesia, dinilai harus mengutamakan layanan dari sisi kecepatan, harga hingga layanan purna jual.
Hal ini agar layanan FMC tidak terjebak pada perang harga atau perang tarif. Telkom dan XL Axiata mengklaim akan komitmen untuk tidak melakukan perang harga, melainkan mendorong sisi kualitas layanan untuk FMC.
Baca Juga
Untuk diketahui, Telkom akan melakukan spin off Indihome masuk ke Telkomsel yang mana hal itu butuh persetujuan shareholder dalam RUPS yang akan digelar 30 Mei 2023 dan kemudian layanan baru atau produk baru hasil spin off tersebut mulai dipasaran pada Agustus 2023.
Advertisement
Harga produk baru ini menurut SVP Corporate Communication & Investor Relation Telkom Ahmad Reza, di rentang antara Rp 70.000-Rp 265.000, atau tidak akan di atas ARPU Indihome dan di bawah ARPU Orbit.
"Kalau harganya mahal, tak semua pengguna mau dengan produk baru," kata Reza dalam diskusi Indotelko Forum bertajuk 'Babak Baru Layanan Broadband Bersama Fixed Mobile Convergence', dikutip Senin (29/5/2023).
Menurut Reza, berdasarkan studi di negara lain di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, layanan FMC gagal lantaran operator fokus pada perang tarif.
"FMC pakai paket murah bikin blunder, kemudian dipakai kanibal sehingga yang eksisting yakni layanan wireless hilang, padahal itu tak boleh hilang sama sekali," katanya.
Ia menilai, tarif FMC jangan terlalu mahal tapi jangan sampai perang tarif. Yang terpenting, jangan sampai harga turun dan service lebih turun.
"Oleh karena itu, nantinya layanan akan di-customize untuk customer tertentu, atau tarif berdasarkan layanan," ucap Reza menjelaskan.
Ia menambahkan, layanan FMC yang berkualutas ke depannya adalah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurutnya, kebutuhan di Indonesia unik karena faktor geografis, dan kebutuhan untuk stabil digunakan di tiap wilayah Indonesia jadi tantangan.
"Kami bukan perang tarif tapi perang jaringan, bagaimana cara memasarkan jaringan sebanyak mungkin ke masyarakat indonesia," Reza memungkaskan.
3 Pilar Layanan FMC XL Satu
Sementara itu, XL Axiata melalui layanan FMC XL Satu yang bergulir sejak 2021 kini fokus menggarap segmen keluarga, yang mana fokus pada tiga pilar.
Pertama, konsumer centric yakni untuk kebutuhan pelanggan secara end to end. Kedua, converge proposition dan modular, di mana konsumen pilih sendiri layanan dan tarif sesuai kebutuhan. Di mana harapannya, ketiga, membawa full digital journey bagi konsumen tersebut.
“Oleh karena itu, XL Axiata mengubah pola servis proposisi ritel ke servis atau layanan untuk Indonesian progressing family," kata Group Head Indirect Channel Management, XL Axiata Junius Koestadi, di acara sama.
Dengan cara itu perusahaan menargetkan layanan XL Satu terdapat di lebih dari 150 kota pada dua tahun mendatang. Tujuannya agar pengguna yang ingin tambah device atau tambah speed bisa mudah dilakukan.
XL Axiata sendiri sebagai pelopor FMC di Indonesia merasa punya competitive advantage untuk tahu apa yang diinginkan konsumen, sehingga kemudian bisa memberikan lebih ke konsumen.
Menurut Junius, tantangan saat ini bukan tarif, tapi integrasi jaringan mobile XL Axiata dengan mitra, bagaimana menyatukannya dengan cepat.
"Tantangan lain dari sisi konsumen, yakni bagaimana mengkomunikasikan XL Satu dan benefitnya ke konsumen. Kami selalu bilang ini internet untuk kebutuhan di luar rumah, di rumah dan berbagi ke keluarga," ia melanjutkan.
Data XL Axiata sendiri menunjukkan adanya perubahan perilaku penggunaan internet yang semakin cepat dan spesifik oleh warga RI selama pandemi Covid-19, dan tidak berubah usai jadi endemi pun. dengan demikian, konsumen butuh internet yang kencang di mana pun berada.
Advertisement
Masyarakat Jangan Sampai Apatis dengan Layanan FMC
Founder IndoTelko Forum, Doni Ismanto Darwin, mengingatkan agar layanan baru FMC tidak terjebak pada perang harga atau perang tarif.
Jika kembali terjebak ke dalam perang harga ketika menyelenggarakan FMC, maka yang dirugikan tidak hanya operator tetapi masyarakat.
Menurut Doni, FMC bisa menjadi mesin pertumbuhan baru bagi operator jika tidak terjebak dengan perang harga layaknya yang terjadi di layanan mobile broadband. FMC, lanjutnya, juga harus dijadikan sebagai era baru layanan broadband di Indonesia.
“Kalau FMC ternyata sama saja dengan era 3G, 4G, atau 5G, lama-lama masyarakat bisa apatis dengan teknologi baru dan beranggapan itu hanya bagian dari gimmick pemasaran,” kata Doni.
Direktur Eksekutif ICT Institute dan Anggota Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Heru Sutadi, menambahkan dengan adanya FMC, 2-3 tahun ke depan harapannya industri antara XL Axiata dan Telkomsel akan makin memperkuat posisi.
"Harapannya juga pelangan dapat layanan nomor satu sehingga akan mendorong hadirnya layanan broadband yang lebih luas lagi," ujar Heru.
Ia mengingatkan, operator jangan sampai perang tarif layanan FMC, jangan sampai tarifnya sangat murah juga karena yang rugi operator.
"Oleh karena itu cari titik tengah untuk tarif, tapi harapannya pembangunan broadband makin luas karena per rumah sudah butuh 40-50 mbps," kata Heru.
Sementara Analis BRI Danareksa, Niko Margaronis, lebih menyoroti adanya peluang pendapatan baru operator dengan FMC. Sebab, ada estimasi tambahan Rp 200 untuk ARPU. Di layanan mobile, ARPU antara Rp 40.000-Rp 45.000.
"Itu very big plus, biaya bisa naik untuk ningkatin ARPU, tapi tetap bisa drive more revenues operator yang sekarang," katanya.
Selain bisnis baru yang memberikan peluang pendapatan baru, FMC menurut Niko juga mendorong operator fokus bagaimana memberikan offering layanan yang lebih baik ke pelanggan sehingga ARPU bisa lebih sehat.
Infografis Era Teknologi 5G di Indonesia (Liputan6.com/Triyasni)
Advertisement