Liputan6.com, Jakarta - Di era transformasi digital, pentingnya mewujudkan tata kelola terbuka dan transparan semakin menjadi perhatian utama.
Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Vony Tjiu, Country Manager untuk Red Hat Indonesia, terungkap bagaimana konsep teknologi sumber terbuka (open source) memberikan kontribusi penting dalam mewujudkan misi tata kelola terbuka (open government).
Baca Juga
Ultah di Disneyland Hong Kong, Potret Rayyanza Pakai Baju Kembar dengan Rafathar dan Lily Bikin Gemas
Kondisi Lolly Anak Nikita Mirzani Saat Diperiksa Polisi Sebagai Korban: Terlihat Cantik, Ceria dan Berhijab
Pengumuman, Hotman Paris Sebut Kisruh Donasi Rp1,3 Miliar Agus Salim dan Novi Kasus Receh!
Vony menjelaskan bahwa organisasi, tak terkecuali pemerintah, dapat mengurangi ketergantungan pada solusi propietary software dengan menggunakan solusi open source. Teknologi open source juga memungkinkan pemerintah membangun dan mengadaptasi solusi sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.
Advertisement
Itu tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga mendorong kolaborasi antara berbagai pihak.
Namun, peralihan dan adopsi teknologi open source bukanlah proses instan yang tanpa hambatan. Meskipun memiliki potensi yang besar, ada tantangan dalam berbagai hal seperti dukungan teknis dan integrasi dengan infrastruktur yang sudah ada.
Oleh karena itu, langkah-langkah cermat perlu menjadi pertimbangan untuk memastikan bahwa perubahan menuju open government melalui teknologi open source berlangsung secara bijak dan berkelanjutan.
Kelebihan Open Source
Mengawali wawancara, Vony menyatakan bahwa open source memberikan kekuatan teknologi kepada penggunanya.
"Inovasi di teknologi open source terletak pada orang yang menggunakan teknologi tersebut," kata dia.
Hal ini berbeda dengan propietary software yang mengandalkan inovasi dari penyedia perangkat lunak itu saja. Dalam konteks open government, open source memungkinkan partisipasi publik yang lebih luas dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi.
Indonesia yang tengah mengalami pertumbuhan pesat dalam layanan digital, menurut Vony, memiliki peluang besar untuk melakukan perubahan substansial demi kepentingan publik. Mengutip United Nations e-Government Development Index, dia menyebut bahwa Indonesia telah mencatat peningkatan dalam pengembangan layanan digital sejak tahun 2018, naik dari peringkat 107 menjadi peringkat 77 pada tahun 2022.
Pada saat yang sama, dampak pandemi COVID-19 telah mengubah cara kerja berbagai organisasi di dunia, tak terkecuali di sektor pemerintahan, secara drastis. Masyarakat, konsumer, dan karyawan sekarang memiliki harapan untuk layanan aplikasi yang tersedia secara konsisten, fleksibel, dan aman.
Di sinilah Vony menyebut bahwa tata kelola terbuka yang mengutamakan prinsip transparansi, partisipasi, inovasi, dan akuntabilitas menjadi relevan. Prinsip-prinsip ini selaras dengan filosofi open source yang dibangun melalui kolaborasi, desentralisasi, dan peer review di kalangan komunitas dan penggunannya.
"Sebagai salah satu perusahaan open source terbesar di dunia, Red Hat itu kita percaya menggunakan open development model akan membantu menciptakan teknologi yang jauh lebih stabil, yang secure dan juga yang inovatif. Nah, open source sendiri itu telah dilakukan, digunakan, diuji skalabilitasnya di private sector," tutur Vony menegaskan.
Dia pun kemudian menyoroti potensi open source dalam memungkinkan transformasi digital lebih lanjut di Indonesia. "Open source memiliki potensi untuk memungkinkan layanan digital baru bagi penduduk Indonesia," ujar Vony.
Melalui adopsi kontainer dan pengembangan aplikasi yang lebih cepat seperti yang Red Hat tawarkan, misalnya, Vony meyakini open source dapat mempercepat kehadiran produk dan layanan digital pemerintah.
Selain itu, diamenyingung soal akselerasi adopsi Artificial Intelligence dan Machine Learning untuk kapabilitas baru seperti melakukan pemeriksaan data, untuk memberikan insight, dan untuk mengambil keputusan.
"Jadi kalau kita lihat memang sekarang adalah momen yang tepat untuk mempertimbangkan implementasi itu di public services di saat bersamaan mendorong organisasi untuk bisa digitalisasi," tutur Vony.
Tantangan dalam Mengadopsi Open Source
Meskipun potensi manfaat teknologi open source sangat menarik, sektor pemerintahan mungkin masih menghadapi kendala dalam merangkul teknologi itu. Salah satunya adalah kekhawatiran akan keamanan data dan privasi.
Vony pun menjelaskan bahwa teknologi open source, termasuk solusi dari Red Hat, sebetulnya dapat menekan kekhawatiran ini dengan solusi keamanan terpadu. Meski demikian, membujuk para pemangku kepentingan tentang keunggulan open source tidaklah mudah, terutama di sektor pemerintahan yang secara teoretis memiliki standar keamanan ketat.
Dalam menghadapi kekhawatiran terhadap keamanan data, dia mengungkapkan bahwa Red Hat telah mengambil langkah-langkah cermat untuk menjaga data. Dalam kemitraan dengan tim produk dan tim keamanan rantai pasokan perangkat lunak (software supply chain security), dia menegaskan bahwa produk Red Hat mengikuti standar keamanan tertentu dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
"Supply chain security ini benar-benar yang memonitor secara end-to-end bagaimana produk Red Hat itu dibuat. Kita bekerja sama dengan tim produk untuk mengadopsi teknologi baru tanpa kompromi dari sisi security. Kita juga bekerja dengan pemilik sistem, jadi enggak cuma dari Red Hat tapi juga dengan pemilik sistem itu," ujar Vony menegaskan.
Guna memperkuat keamanan, dia juga menyebut bahwa proses development dan deployment solusi mereka mencakup mapping control dengan industry benchmark. Dalam hal ini, kata dia, Red Hat berupaya untuk memenuhi standar industri tertentu karena setiap industri memang lazim memiliki standar keamanan berbeda-beda.
Selain itu, integrasi solusi open source dengan sistem yang sudah ada merupakan tantangan tersendiri. Namun, Vony menegaskan bahwa open source dapat memberikan fleksibilitas dalam integrasi dan kompatibilitas dengan sistem yang ada.
Dia pun mencontohkan satu kasus sukses dari instansi pemerintah Indonesia, seperti Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang mengintegrasikan aplikasi keuangan pemerintahan dengan menggunakan layanan Red Hat. Kata dia, sistem bernama Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI) itu menjadi salah satu bukti efektivitas dan skalabilitas solusi open source dalam mencapai transformasi digital.
"Dengan mengadopsi Red Hat JBoss Enterprise Application Platform yang berjalan di atas Red Hat OpenShift, Dirjen Perbendaraan berhasil men-deliver services dan fitur-fitur baru dalam waktu kurang dari 50 persen (dari seharusnya). Jadi time saving-nya itu luar biasa. [...]. Dan saat ini SAKTI sudah mendukung 384 ribu users di berbagai Kementerian/Lembaga. Jadi memang kalau kita bilang, open source itu berarti open possibility," tutur Vony.
Advertisement
Transformasi Digital: Outosource atau Insource
Dua contoh lembaga pemerintah yang berhasil melakukan transformasi digital beberapa tahun terakhir ini adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Kesamaan kedua lembaga ini adalah mereka memiliki entitas khusus di dalam organisasi mereka yang menangani transformasi digital.
Lantas, apakah memang perlu entitas khusus untuk melakukan transformasi digital di dalam organisasi? Ataukah lebih baik melalui skema outsourcing?
Menanggapi pertanyaan itu, Vony menilai bahwa keputusan itu tergantung pada strategi dan kebutuhan masing-masing organisasi, termasuk jenis data apa yang mereka miliki, apakah data itu sensitif yang menyangkut penduduk, dan lainnya.
"Ada plus-minusnya. Beberapa instansi pemerintah yang bekerja sama dengan Red Hat, mereka memang mencoba untuk membangun (tech) skill di dalami organisasi masing-masing juga. Mereka tidak fully outsource, tapi tentunya tetap mencakup People, Process dan Technology" kata Vony.
Dalam konteks ini, Vony menekankan bahwa tidak hanya People yang harus menjadi pertimbangan, tetapi juga aspek lainnya seperti Proses Bisnis dan pemilihan Platform Teknologi pun harus mendapat perhatian.
Dengan demikian, keputusan untuk memiliki entitas khusus atau outsource transformasi digital pada akhirnya keputusan kompleks yang harus didasarkan pada strategi masing-masing organisasi.
Â
Inisiatif Red Hat untuk Mendukung Open Government
Tentu saja, perubahan menuju pemerintahan terbuka dengan adopsi teknologi open source tidak berlangsung sekejap. Salah satu hambatan yang pemerintah hadapi, menurut Vony, adalah kurangnya keahlian digital.
Namun, Red Hat telah berupaya mengatasi hambatan ini melalui program bertajuk Red Hat Academy yang menjalin kerja sama dengan lembaga akademis di seluruh Indonesia untuk menyediakan pelatihan dan sertifikasi gratis terkait teknologi open source.
"Kita melihat momentum yang baik sekali nih yang ada pada Red Hat Academy di Indonesia. Memang kita kebetulan baru mulai tahun lalu di Indonesia, namun melihat satu setengah tahun ini sepertinya pertumbuhan dan progresnya itu sangat menjanjikan," kata Vony.
Saat ini RedHat telah bermitra dengan 183 lembaga di Indonesia dan itu tertinggi di Asia Pasifik setelah China. Kurang lebih, menurut Vony, mereka yang telah mengikuti program ini berjumlah 4.500 mahasiswa. Dia pun menyebut ini sebagai salah satu bukti bahwa adanya kebutuhan dan potensi yang sangat besar serta minat untuk mempelajari open source dan engineering.
Kesimpulan
Transformasi digital dalam pemerintahan adalah langkah penting untuk mencapai tata kelola terbuka dan memberikan pelayanan publik lebih baik. Open source dapat menjadi salah satu pilar utama dalam transformasi ini, dengan potensi untuk mempercepat inovasi, memungkinkan kolaborasi, dan memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Dalam upaya mencapai tujuan ini, Red Hat berperan aktif dalam mendukung pemerintahan terbuka di Indonesia melalui inisiatif seperti Red Hat Academy dan kolaborasi dengan instansi pemerintah.
Dengan terus menjaga keberlanjutan dan pertumbuhan transformasi digital, Indonesia dapat mewujudkan pemerintahan yang lebih transparan, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Advertisement