Sukses

Curhat Operator Sulit Berinvestasi di Jaringan Kalau Regulatory Cost Terlalu Tinggi

Operator seluler ingin mendapatkan spektrum baru untuk bisa menggelar layanan tetapi terhambat oleh regulatory cost yang membebani.

Liputan6.com, Jakarta - Harga internet di Indonesia terbilang jadi salah satu yang paling murah dari seluruh dunia. Namun kalau kualitas atau kecepatan internetnya soal yang lain lagi.

Berdasarkan Speedtest Global Index, posisi Indonesia ada di peringkat ke-99 global untuk urusan kecepatan unduh internet. Tercatat rerata kecepatan unduh internet seluler di Indonesia adalah 22,99 Mbps.

Angka ini masih jauh di bawah rata-rata dunia yang kecepatan unduhnya adalah 42,92 Mbps pada kuartal II 2023.

Untuk meningkatkan kualitas internet di Tanah Air, operator pun perlu menggelar jaringan dengan pembangunan infrastruktur yang tidak murah.

Belum lagi urusan spektrum frekuensi untuk bisa menghantarkan layanan telekomunikasi yang lebih berkualitas dengan hadirnya teknologi baru, misalnya 5G.

Adapun spektrum frekuensi yang merupakan sumber daya terbatas dikuasai pemerintah. Operator seluler boleh memakai sumber daya ini untuk menggelar layanan --yang kini mayoritas layanan data-- dengan mengikuti prosedur lelang frekuensi oleh negara.

Terbaru, pemerintah lewat Kominfo berencana menggelar lelang frekuensi 700 MHz dengan alokasi pita selebar 90 MHz. Tujuannya agar operator bisa menghadirkan layanan 5G ke lebih banyak wilayah.

Di sisi lain, operator seluler tengah menanti kebijakan baru untuk lelang frekuensi. Pasalnya kebijakan lelang frekuensi yang lalu dinilai dapat membebani operator seluler secara regulatory cost, dalam hal ini Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi.

2 dari 4 halaman

Investasi Terbatas Kalau BHP Frekuensi Mahal

Diungkap oleh Director & Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison Muhammad Buldansyah, kualitas internet di Indonesia yang masuk ke peringkat bawah dari seluruh dunia, memperlihatkan adanya kondisi darurat di industri telekomunikasi.

"Ini mencerminkan operatornya tidak bisa berinvestasi untuk meningkatkan kualitas," kata Buldansyah yang karib disapa Danny, dalam media briefing di Kantor Indosat Ooredoo Hutchison, Jakarta, Jumat (25/8/2023).

Dalam hal investasi, kondisi darurat yang dialami oleh operator membuat mereka tidak bisa berinvestasi untuk meningkatkan kualitas. Danny menyebut, investasi yang dilakukan tak jarang hanya sebatas untuk mendapatkan margin.

"Investasinya terbatas ya, bukan terhambat. Ini konsekuensi logis, kalau keuntungannya kurang, investasinya juga tidak bisa maksimal," ia menuturkan.

Perlu Dukungan Pemerintah

Dia pun menyebut, pemerintah perlu melakukan upaya serius untuk menangani masalah di industri telekomunikasi ini. Apalagi, seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketum ATSI Merza Fachys beberapa waktu lalu, industri telekomunikasi menopang bisnis digital di Tanah Air.

Buldansyah mengatakan, cara yang dipakai pemerintah untuk mendukung industri sebenarnya bisa beragam. Mulai dari menerapkan BHP Frekuensi dengan harga yang tidak membebani operator, memberikan insentif bagi operator, sampai atau penentuan tarif batas bawah jika diperlukan.

3 dari 4 halaman

Pengin BHP Frekuensi Tak Mahal

 

Khusus untuk BHP Frekuensi, pola lelang frekuensi yang lama mengikuti siapa yang bisa menawarkan lebih tinggi. Operator pun berlomba-lomba menawarkan harga tertinggi. Akibatnya, operator yang tidak punya modal besar pasti kalah bersaing mendapatkan spektrum frekuensi.

Ini berimbas pada layanan telekomunikasi yang begitu-gitu saja, padahal operator diharapkan bisa menggelar teknologi jaringan terbaru atau meningkatkan kualitas mereka.

Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo Ismail mengatakan, pihaknya telah menyampaikan beberapa opsi soal BHP Frekuensi ke Kemenkeu dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

4 dari 4 halaman

Pola Lelang Frekuensi Masih Dibicarakan

Ismail bilang, opsi-opsi terkait lelang itu masih didiskusikan. Menurutnya, Kominfo tengah mempersiapkan revisi regulasi tentang lelang, yakni PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 80 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku Pada Kemkominfo.

Revisi PP Nomor 80 Tahun 2015 ini bisa saja akan membuat berkurangnya PNPB dari sektor Kominfo.

"Kementerian Keuangan bisa menerima asalkan argumentasinya kuat, kalau misalnya perlu ada model baru. Jika memang PNBP harus turun, maka masyarakat yang memang merasakan, ya maka kita sampaikan," kata Ismail di sebuah diskusi di Jakarta.

Ismail juga menyebut juga opsi lain yang mungkin dilakukan seperti di India, yakni tax holiday alias meliburkan pembayaran pajak atau BHP Frekuensi tahunan untuk waktu tertentu.

Menurut Danny tax holiday bisa dilakukan untuk sedikit mengurangi beban operator dalam pembayaran regulatory cost ke pemerintah.