Liputan6.com, Jakarta - Bagi kamu yang sering mengunjungi klub malam tentunya tak asing dengan pakaian 'bersinar' di bawah sinar ultraviolet (UV) dalam ruangan gelap, sebuah efek yang dikenal sebagai fluoresensi.
Kini, sebuah penelitian di Australia menunjukkan bahwa fenomena tersebut juga tersebar luas pada mamalia, termasuk spesies kucing peliharaan (Felis catus).
Baca Juga
Selain kucing, fluoresensi juga ditemukan pada 125 spesies, termasuk kelelawar, koala, zebra, tikus tanah, beruang kutub, dan lumba-lumba.
Advertisement
Penelitian sebelumnya menunjukkan fluoresensi terlihat pada burung, reptil, karang, moluska, kalajengking dan arthropoda lainnya, serta amfibi seperti katak dan bahkan ikan.
Beberapa mamalia juga dilaporkan 'menyala' seperti fluoresensi di bawah sinar UV, termasuk hewan khas Australia, platipus.
Para ilmuwan telah mengetahui bahwa bagian tulang dan gigi bersinar, seperti halnya rambut dan kuku putih manusia. Pun demikian, hingga saat ini tidak ada yang mengetahui seberapa umum hal tersebut terjadi pada mamalia.
Mengutip Daily Mail, Jumat (6/10/2023), studi baru yang dipimpin oleh Dr Kenny J. Travouillon, ahli paleontologi di Western Australian Museum di Perth, menegaskan adanya 'fluoresensi luas pada mamalia'.
"Hampir setiap mamalia yang kami pelajari menunjukkan suatu bentuk fluoresensi," katanya dalam artikel yang diterbitkan The Conversation.
"Kami pikir sebenarnya fluoresensi sangat umum terjadi pada mamalia, ini kemungkinan bawaan dari rambut/bulu kecuali jika warnanya sangat berpigmen," Travouillon menjelaskan.
Fungsi Fluoresensi pada Hewan
Fluoresensi mungkin telah berevolusi pada hewan sebagai fungsi biologis yang berguna, seperti untuk komunikasi pada spesies nokturnal, meskipun hal ini belum diketahui secara pasti.
“Ini mungkin hanya sebuah artefak dari sifat struktural rambut yang tidak berpigmen,” kata Travouillon.
Ia berpendapat bahwa fluoresensi mungkin penting untuk mencerahkan bagian hewan yang berwarna pucat, digunakan sebagai sinyal visual.
"Hal ini dapat meningkatkan visibilitasnya, terutama dalam cahaya redup--seperti pencerah optik fluoresen yang ditambahkan pada kertas putih dan pakaian," ujarnya.
Travouillon dan rekannya mempelajari spesimen yang diawetkan dan dibekukan dari museum dan taman satwa liar, termasuk Western Australian Museum dan Museum dan Tasmanian Museum and Art Gallery.
Para peneliti memulai dengan platipus untuk melihat apakah mereka dapat meniru fluoresensi yang sebelumnya dilaporkan dalam penelitian lain pada 2020.
Pada saat itu, bulu ketiga spesimen platipus berwarna coklat seragam di bawah cahaya, tetapi di bawah sinar UV warnanya tampak hijau atau biru kehijauan.
"Kami memotret spesimen platipus yang diawetkan dan dibekukan di bawah sinar UV, lalu mengamati cahaya fluoresen (walaupun agak redup)," ungkap Travouillon.
Advertisement
Teknik Spektroskopi Fluoresensi
Mereka kemudian menggunakan teknik disebut spektroskopi fluoresensi yang menyinari berbagai sumber cahaya pada sampel dan mencatat 'sidik jari' spesifik dari cahaya tersebut, untuk memastikan apa yang mereka lihat memang fluoresensi.
Setelah mengulangi proses ini pada mamalia lain, mereka menemukan bukti jelas adanya fluoresensi pada koala, Tasmania devil, ekidna berparuh pendek, wombat berhidung berbulu, bandicoot, greater bilbies, dan bahkan kucing.
Area fluoresensi termasuk bulu putih dan terang, duri, kumis, cakar, gigi, dan beberapa kulit tanpa bulu.
Untuk kucing domestik, bulu berwarna gelap tidak berpendar, tetapi bulu berwarna putih, dengan intensitas yang mirip dengan platipus.
Hewan Hidup Lebih Berpendar
Tim Travouillon mengakui bahwa mereka mempelajari hewan-hewan yang diawetkan yang sudah lama mati, namun hewan-hewan yang hidup atau baru mati mungkin lebih berpendar.
“Kami menyarankan penelitian lebih lanjut harus fokus pada hewan yang tidak diawetkan,” mereka menyimpulkan dalam makalah yang diterbitkan dalam jurnal Royal Society Open Science.
Hal ini tidak akan terpengaruh oleh potensi degradasi bahan fluoresen atau bahan kimia pengawet.
Spesies yang dimaksud mencakup spesies dengan pola kulit yang sangat tinggi, mungkin penting untuk sinyal visual atau kamuflase, dan spesies yang memiliki riwayat hidup sangat terspesialisasi.
Advertisement