Liputan6.com, Jakarta - Potensi bahaya kecerdasan buatan (AI) telah menjadi perdebatan sejak beberapa waktu lalu. Namun, beberapa peneliti berpendapat bahwa ada kekhawatiran penting yang terabaikan, yakni energi yang digunakan komputer untuk melatih dan menjalankan model AI berukuran besar.
Alex de Vries dari VU Amsterdam School of Business and Economics memperingatkan pertumbuhan AI akan menjadikannya kontributor signifikan terhadap emisi karbon global. Demikian sebagaimana dikutip dari New Scientist, Senin (30/10/2023).
Baca Juga
Ia juga memperkirakan, jika Google mengalihkan seluruh bisnis penelusurannya ke AI, maka Google akan menggunakan 29,3 terawatt jam per tahun atau setara dengan konsumsi listrik di Irlandia.
Advertisement
Bahkan, hampir dua kali lipat total konsumsi energi perusahaan sebesar 15,4 terawatt jam pada tahun 2020.
Namun, peralihan semacam itu tidak mungkin, karena memerlukan lebih dari 4 juta chip unit pemrosesan grafis (GPU) yang saat ini banyak diminati. Dengan demikian, chip GPU memiliki jumlah yang terbatas. Di samping itu, teknologi ini juga akan menelan biaya USD 100 miliar atau Rp 1,6 kuadriliun.
Di sisi lain, seiring berjalannya waktu, konsumsi energi AI akan menimbulkan masalah nyata. Nvidia, yang menjual 95 persen GPU untuk AI, akan mengirimkan 100.000 server A100-nya tahun ini. Artinya, secara kolektif dapat mengonsumsi 5,7 terrawatt jam per tahun.
Kondisi ini akan menjadi lebih buruk saat pabrik-pabrik manufaktur baru mulai beroperasi dan secara signifikan meningkatkan kapasitas produksi.
Pembuat chip TSMC, pemasok Nvidia, berinvestasi di pabrik baru yang dapat menyediakan 1,5 juta server per tahun pada tahun 2027. Dan semua perangkat keras tersebut dapat mengonsumsi energi 85,4 terawatt jam per tahun, kata de Vries.
Perlu Adanya Tindakan Bijak dalam Penggunaan AI
Dengan banyaknya bisnis yang saling bersaing mengintegrasikan AI ke dalam semua jenis produk, Nvidia diperkirakan tidak akan mengalami masalah dalam mengosongkan stoknya.
Namun, de Vries mengatakan bahwa AI harus digunakan secara hemat, mengingat dampaknya yang besar terhadap lingkungan.
“Orang-orang mempunyai alat baru ini dan mereka berpikir, 'Oke, bagus sekali, kami akan menggunakannya', tanpa peduli apakah mereka benar-benar membutuhkannya,” ujar de Vries.
“Mereka lupa bertanya atau bertanya-tanya apakah pengguna memerlukannya atau akankah ini membuat hidup mereka lebih baik," tambahnya.
Sandra Wachter dari Universitas Oxford menambahkan, konsumen harus sadar bahwa bermain-main dengan model AI ada konsekuensinya.
“Kami berinteraksi dengan teknologi dan kami tidak menyadari berapa banyak sumber daya (listrik, air, dan ruang) yang dibutuhkan. Perundang-undangan yang memaksakan transparansi mengenai dampak lingkungan dari model ini akan mendorong perusahaan untuk bertindak lebih bertanggung jawab," katanya.
Advertisement
Perusahaan AI Menyadari Pelatihan Model Besar Menghabiskan Banyak Energi
Juru bicara OpenAI mengatakan, mereka menyadari bahwa pelatihan model berukuran besar dapat menghabiskan banyak energi. Maka dari itu perusahaan terus berupaya meningkatkan efisiensi.
"Kami sangat memikirkan penggunaan daya komputasi kami sebaik-baiknya,” ungkap juru bicara OpenAI.
Salah satu pendiri perusahaan AI Hugging face, Thomas Wolf, mengungkapkan "Ada tanda-tanda bahwa model AI yang lebih kecil kini mendekati kemampuan model lebih besar yang dapat memberikan penghematan energi yang signifikan."
"Mistral 7B dan Meta's Llama 2 berukuran 10 hingga 100 kali lebih kecil dari model bahasa GPT4 dan dapat melakukan banyak hal yang sama," ungkapnya.
Juru bicara Nvidia mengakui bahwa menjalankan AI pada GPU-nya lebih hemat energi dibandingkan jenis chip alternatif yang disebut CPU.
“Komputasi yang dipercepat pada teknologi Nvidia adalah model komputasi paling hemat energi untuk AI dan beban kerja pusat data lainnya. Produk kami memiliki performa yang lebih baik dan hemat energi di setiap generasi baru,” klaimnya.
AI Bantu Perangi Perubahan Iklim
Berkaitan dengan kesadaran terhadap lingkungan, perubahan iklim menjadi kondisi darurat global yang menantang para ilmuwan, insinyur, dan pakar industri dari beragam disiplin ilmu dalam mencari solusi guna melindungi bumi.
Namun, berlawanan dengan isu sebelumnya, beberapa solusi tersebut kemungkinan besar dapat dicapai berkat kecerdasan buatan (AI).
Mengutip dari situs web Universitas Johns Hopkins, Senin (9/10/2023), direktur eksekutif Johns Hopkins Institute for Assured Autonomy Jim Bellingham, menyatakan “Kumpulan data iklim sangat besar dan membutuhkan banyak waktu untuk dikumpulkan, dianalisis, dan digunakan untuk membuat keputusan yang tepat dan menerapkan perubahan kebijakan yang sebenarnya."
Dia juga menambahkan, “Menggunakan AI untuk memperhitungkan elemen perubahan iklim yang terus berkembang membantu kita membuat prediksi yang lebih tepat mengenai perubahan lingkungan, sehingga kita dapat menerapkan upaya mitigasi lebih awal.”
Dalam Konferensi South by Southwest di Austin, Texas, pada 15 Maret 2023, Bellingham membicarakan penerapan AI pada isu perubahan iklim dengan Hub.
Menariknya, AI dapat diterapkan pada banyak hal yang kita lakukan, termasuk tugas-tugas yang sebelumnya hanya dapat diselesaikan oleh manusia.
Perubahan iklim adalah salah satu masalah ilmiah tersulit yang pernah dihadapi manusia. Ini adalah sistem yang sangat kompleks dengan sejumlah besar variabel.
Ketika membicarakan perubahan iklim, orang-orang cenderung fokus pada aspek fisik iklim. Misalnya, jumlah karbon dioksida di atmosfer, suhu, tingkat curah hujan, dan pola angin. Namun, semua karakteristik ini dibentuk oleh planet kehidupan yang terus berubah.
Penggunaan AI untuk memperhitungkan elemen perubahan iklim yang terus berkembang membantu para ilmuwan memprediksi dengan lebih tepat mengenai perubahan lingkungan. Dengan demikian, upaya mitigasi dapat diterapkan lebih awal.
Advertisement