Liputan6.com, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menilai penetrasi internet Indonesia masih tertinggal dibanding negara lain.
"Terus terang penetrasi internet Indonesia baru 78%, berarti masih ada 22% warga negara Indonesia yang belum memiliki akses internet," kata Budi Arie dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) Peluncuran Capaian Kinerja 2023, Selasa (24/10/2023) di Jakarta.
Baca Juga
Mengutip keterangan resmi Kominfo, Rabu (25/10/2023), ia pun mengakui kualitas dan kecepatan internet di Indonesia juga masih menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah.
Advertisement
Soal kualitas internet, menurutnya saat ini kecepatan internet masih 22 Mbps yang menempatkan Indonesia urutan 9 dari 10 negara di Asia, termasuk di dunia dengan peringkat ke-98.
"Isu konektivitas itu ada tiga hal. Pertama kapasitas, kedua coverage, dan ketiga kualitas. Jadi yang coverage itu mencakup berapa luasan wilayah yang sudah kita jangkau," Budi Arie menjelaskan.
Salah satu yang membuat kualitas internet di Indonesia masih kalah bersaing dengan negara lain lantaran operator telekomunikasi kesulitan menggelar jaringan serat optik.
Bahkan saat ini operator telekomunikasi menghadapi tambahan beban sewa penggelaran jaringan yang dikenakan oleh beberapa pemerintah daerah (pemda) atau pemerintah kota (pemkot).
Baru-baru ini Anggota Ombudsman Republik Indonesia Hery Susanto menyoroti adanya potensi maladministrasi pada kebijakan utilitas telekomunikasi di Kota Surabaya.
Langkah kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang mengenakan sewa Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) di pinggir jalan yang dipergunakan untuk penggelaran kabel telekomunikasi oleh operator telekomunikasi dinilai berpotensi menimbulkan maladministrasi.
"Kami melihat adanya potensi maladministrasi terhadap kebijakan pembangunan utilitas telekomunikasi," kata Hery dalam Seminar Nasional bertajuk 'Pengelolaan Infrastruktur Telekomunikasi yang Menunjang Smart City dan Pelayanan Publik' di Surabaya, belum lama ini.
Pihaknya pun mengimbau Pemkot Surabaya untuk mengevaluasi kebijakan Pemkot melalui produk hukum Perda Kota Surabaya no 5/2017 tentang Penyelenggaraan Jaringan Utilitas dan Perwali Kota Surabaya No 1/2022 Tentang Formula Tarif Sewa Barang Milik Daerah Berupa Tanah dan/atau Bangunan.
"Dua regulasi tersebut bisa menghambat Kota Surabaya menjadi smart city atau kota pintar," ujar Hery menambahkan.
Berpotensi Penyalahgunaan Kewenangan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute Ahmad Redi, menilai Pemkot Surabaya yang menerapkan sewa terhadap penggelaran infrastruktur jaringan telekomunikasi yang tergelar di pinggir jalan selain berpotensi menimbulkan mal administrasi, juga berpotensi menyalahgunakan kewenangan.
Bila berkaca pada pasal 28F UUD 1945, negara telah menjamin hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Hak masyarakat diperkuat dalam UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 12 UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi memberikan dasar hukum bagi jaringan telekomunikasi untuk memanfaatkan atau melintasi tanah negara, bangunan milik atau dikuasai pemerintah.
"Selain itu, di UU 2 Tahun 2022 tentang Jalan diatur bahwa setiap jalan harus memiliki bagian-bagian Jalan yang merupakan ruang yang dipergunakan untuk mobilitas, konstruksi jalan, keperluan peningkatan kapasitas jalan, dan keselamatan bagi pengguna jalan. Ruang manfaat jalan tersebut dimanfaatkan untuk jalur jaringan utilitas terpadu," Redi memaparkan.
Berdasarkan UU 25 tahun 2009 pasal 5 tentang Pelayanan Publik, Redi menjelaskan bahwa kabel telekomunikasi (komunikasi & Informasi), air, listrik merupakan bagian dari barang milik publik. Tujuannya agar harga barang/jasa di masyarakat akan lebih murah.
"Konsekuensi jaringan telekomunikasi yang merupakan bagian barang milik publik, sudah seharusnya pemerintah baik di pusat maupun daerah memberikan privilege khusus terhadap sektor telekomunikasi," ucapnya menekankan.
Advertisement
Privilege Khusus Terhadap Sektor Telekomunikasi Sudah Ada Aturannya
Sejatinya privilege khusus terhadap sektor telekomunikasi tersebut sudah tertuang dalam PP 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, PP 46 tahun 2021 tentang Pos Telekomunikasi Penyiaran, PM Kominfo 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan kebijakan untuk mempercepat transformasi digital.
Redi menambahkan, penerapan mengenai sewa lahan di pinggir jalan oleh pemda tidak memiliki dasar hukum kewenangan yang jelas dalam UU Pemda dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
Maka dari itu, pengenaan tarif sewa yang dilakukan oleh Pemda Surabaya dikatakan Redi tanpa dasar hukum atribusi dalam UU. Karena tak memiliki dasar, Redi menilai pemda harus mencabut pengenaan biaya sewa tersebut.
“Sesuai UU Administrasi, pemerintahan dilarang ada kewenangan yang dibuat oleh Pemda tanpa berdasarkan UU, sehingga pembentukan peraturan di tingkat daerah yang menerapkan sewa lahan di pinggir jalan bisa menjadi penyalahgunaan kewenangan kepala daerah dan maladministrasi penyelenggaraan pelayanan publik,” Redi memungkaskan.
Infografis Kenaikan Jumlah Pengguna Media Sosial di Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah)
Advertisement