Sukses

NASA dan IBM Berkolaborasi Kembangkan Model AI untuk Aplikasi Cuaca dan Iklim

NASA dan IBM bekerja sama membangun model dasar AI (kecerdasan buatan) untuk aplikasi cuaca dan iklim, mereka berharap model ini memiliki aksesibilitas yang lebih luas, waktu inferensi yang lebih cepat, dan keragaman data yang lebih besar.

Liputan6.com, Jakarta - NASA dan IBM bekerja sama membangun model dasar AI (kecerdasan buatan) untuk aplikasi cuaca dan iklim. Mereka menggabungkan pengetahuan dan keterampilan masing-masing di bidang ilmu kebumian dan AI untuk model tersebut.

Mengutip Engadget, Senin (4/12/2023), mereka mengklaim bahwa model tersebut akan menawarkan “keunggulan signifikan dibandingkan teknologi yang sudah ada.”

Model AI saat ini, seperti GraphCast dan Fourcastnet, bisa menghasilkan prakiraan cuaca lebih cepat daripada model meteorologi tradisional. Namun, IBM mencatat bahwa ini adalah emulator AI (bukan model dasar). 

Seperti namanya, model dasar adalah teknologi dasar yang mendukung aplikasi AI generatif. 

"Emulator AI dapat membuat prediksi cuaca berdasarkan kumpulan data pelatihan, tetapi tidak memiliki aplikasi lebih dari itu. Mereka juga tidak dapat mengkodekan fisika yang menjadi inti prakiraan cuaca," kata IBM.

NASA dan IBM berharap model dasar AI yang mereka bangun memiliki aksesibilitas lebih luas, waktu inferensi lebih cepat, dan keragaman data lebih besar. Selain itu juga meningkatkan keakuratan perkiraan untuk aplikasi iklim lainnya. 

Model ini juga diharapkan mampu memprediksi fenomena meteorologi, menyimpulkan informasi beresolusi tinggi berdasarkan data beresolusi rendah, dan "mengidentifikasi kondisi yang kondusif untuk segala hal mulai dari turbulensi pesawat hingga kebakaran hutan."

Ini mengikuti model dasar lain miliki NASA dan IBM yang dikerahkan pada bulan Mei lalu. Dengan memanfaatkan data dari satelit NASA untuk kecerdasan geospasial, IBM berpendapat bahwa ini merupakan model geospasial terbesar pada platform AI sumber terbuka Hugging Face.

Sejauh ini, model AI tersebut telah digunakan untuk melacak dan memvisualisasikan aktivitas penanaman dan pertumbuhan pohon di kawasan menara air (lanskap hutan yang menahan air) di Kenya.

Tujuannya adalah untuk menanam lebih banyak pohon dan mengatasi masalah kelangkaan air. Model ini juga digunakan untuk menganalisis pulau panas perkotaan di Uni Emirat Arab.

2 dari 4 halaman

GraphCast, AI Milik Google Mampu Prediksi Cuaca Kurang dari Semenit

Sebelumnya, tim peneliti DeepMind Google telah menciptakan algoritma prediksi cuaca berbasis pembelajaran mesin dan kecerdasan buatan (AI), yang dikenal sebagai GraphCast. Alat ini dilaporkan menjadi sebuah terobosan baru di dunia pelaporan cuaca

Dalam waktu kurang dari satu menit, GraphCast mampu memprediksi variabel cuaca untuk kurun waktu 10 hari, mengungguli teknologi prediksi pola cuaca tradisional dengan tingkat kebenaran mencapai 90 persen.

Cara kerja GraphCast melibatkan pengambilan dua kondisi cuaca terkini dari Bumi, termasuk variabel dari waktu pengujian dan enam jam sebelumnya. Dengan memanfaatkan data ini, program artificial intelligence dapat memprediksi kondisi cuaca dalam enam jam ke depan, memberikan keunggulan dalam kecepatan dan akurasi prediksi.

Dilansir Engadget, Rabu (15/11/2023), GraphCast telah membuktikan kemanjurannya dalam praktik, seperti memprediksi pendaratan Badai Lee di Long Island 10 hari sebelum terjadi.

Kecepatan prediksi ini menjadi unggul karena GraphCast tidak harus mengatasi kompleksitas fisika dan dinamika fluida seperti model prediksi cuaca tradisional.

Kelebihan GraphCast tidak hanya terbatas pada kecepatan dan skala prediksi. Program ini juga dapat memprediksi peristiwa cuaca buruk, seperti siklon tropis dan gelombang suhu ekstrem. 

Dengan kemampuan untuk dilatih ulang menggunakan data terbaru, GraphCast diharapkan semakin meningkat dalam memprediksi osilasi pola cuaca yang terkait dengan perubahan iklim.

3 dari 4 halaman

NASA Manfaatkan AI untuk Prediksi Kiamat di Bumi

Berbicara mengenai prediksi berbasis AI, terjadinya kiamat di bumi tidak dapat diprediksi oleh manusia, tetapi para ilmuwan NASA mulai mengembangkan metode peringatan 30 menit sebelum terjadinya fenomena badai matahari yang memiliki potensi untuk menyebabkan "kiamat" global.

Hal ini dikatakan oleh NASA setelah mengulik teknologi AI dalam memprediksi fenomena antariksa yang akan terjadi di masa depan dan fenomena badai matahari dahsyat.

Dirangkum dari berbagai sumber, pada Selasa (14/11/23), berikut cara NASA memprediksi fenomena antariksa dengan AI.

NASA mulai mencoba mengembangkan AI sebagai alat untuk memprediksi badai matahari dahsyat yang akan mengancam berpotensi "kiamat" global.

Teknologi AI dapat membantu memberikan peringatan dini lebih awal ketika fenomena badai matahari mulai bergerak untuk menghancurkan suatu wilayah. Nantinya, cahaya akan bergerak dari material yang dikeluarkan matahari saat badai sedang berlangsung.

Kemudian setelah cahaya berhasil bergerak, NASA akan berusaha mendapatkan data dari beberapa satelit, yakni ACE, WIND, IMP-8, dan Geotail. Keempat satelit ini akan membantu untuk memprediksi terjadinya badai matahari dan dampak dari fenomena tersebut secara lebih akurat.

Dilansir dari Science Alert, para ilmuwan mulai melatih teknik pembelajaran DAGGER. Peningkatan kecepatan teknik DAGGER jauh lebih cepat dibanding algoritma prediktif yang lain, teknik ini juga bisa memprediksi arah terjadinya peristiwa dengan waktu kurang dari satu detik dan level keparahan dalam peristiwa tersebut.

4 dari 4 halaman

Kepala AI Google: Risiko AI Sama Seriusnya dengan Krisis Perubahan Iklim

Sementara itu, dunia harus memperlakukan risiko dari kecerdasan buatan (AI) sama seriusnya dengan krisis perubahan iklim dan tidak bisa menunda responnya, demikian kata seorang pakar AI, dikutip dari The Guardian, Minggu (29/10/2023).

Kepala eksekutif unit AI Google di Inggris Demis Hassabis mengatakan bahwa pengawasan industri AI dapat dimulai dengan sebuah badan yang mirip dengan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC).

Hassabis juga mengatakan, dunia harus segera bertindak untuk mengatasi bahaya teknologi ini, termasuk membantu pembuatan senjata biologis dan ancaman eksistensial yang ditimbulkan oleh sistem super-cerdas.

Ia menambahkan, seharusnya orang-orang menghadapi risiko AI ini sama seriusnya dengan tantangan global utama lainnya, seperti perubahan iklim

"Butuh waktu lama bagi komunitas internasional untuk mengkoordinasikan respons global yang efektif terhadap hal ini, dan kita hidup dengan konsekuensinya sekarang. Kita tidak boleh mengalami penundaan yang sama dengan AI," katanya.

Meskipun AI adalah penemuan yang paling inovatif, ia mengatakan diperlukan sebuah rezim pengawasan dan pemerintah harus mengambil inspirasi dari struktur internasional seperti IPCC.