Liputan6.com, Jakarta - Berdasarkan laporan Ipsos, sambutan positif masyarakat Indonesia terhadap kehadiran AI (kecerdasan buatan) mencapai angka 78%. Namun, sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan kesadaran dan pemahaman generasi muda terhadap teknologi ini.
Sementara itu, dalam aktivitas sehari-hari, mereka sudah menjadi pengguna AI secara aktif.
Baca Juga
CEO & Founder Botika, Ditto Anindita, mengatakan AI kebanyakan dibungkus dalam bentuk layanan. Misalnya, di media sosial ada kamera cantik atau yang kita sebut filter foto. Itu adalah salah satu contoh AI, tetapi tidak semua mengetahui hal tersebut.
Advertisement
"Bahkan, saat ini sudah banyak smartphone yang menerapkan teknologi AI di dalamnya, seperti aplikasi Maps atau rekomendasi konten di media sosial," ujarnya dalam program 'Catatan Wens Manggut' yang digelar livestreaming pada Selasa (5/12/2023).
Pada dasarnya, anak-anak muda di Indonesia adalah pengguna AI. Namun, karena kurangnya kesadaran dan pemahaman ini, banyak di antara mereka terpapar hoaks dan misinformasi.
Dengan demikian, untuk membuat mereka menyadari tentang tantangan teknologi ini, perlu adanya tempat untuk cross check. Seperti program hoax detection yang digunakan untuk memeriksa sebuah konten itu benar atau buatan AI.
Sementara itu, kata Ditto, kesadaran dan pemahaman terhadap teknologi kecerdasan buatan ini tidak hanya untuk mencegah paparan misinformasi.
Dengan pemahaman yang baik, anak-anak muda bisa memanfaatkan AI untuk tujuan positif. Mulai dari membuat konten video yang bisa diterjemahkan, membuat filter, atau membuat animasi.
"AI adalah sebuah alat, sementara yang menentukan bahaya atau tidaknya teknologi tersebut adalah penggunanya," tutur Ditto.
Banyak Orang Indonesia Anggap AI Sangat Positif, Tapi Skill Masih Langka!
Sementara itu, terkait dengan sensitivitas terhadap keamanan AI, masyarakat Indonesia juga masih belum menyadari akan hal ini. Seperti yang diungkapkan Ditto bahwa teknologi kecerdasan buatan bisa disalahgunakan untuk membuat konten atau data palsu.
Ia berpesan kepada para pengguna media sosial, khususnya anak-anak muda, "sebagai pengguna aktif media sosial, kita harus lebih cermat dan tidak mudah percaya dengan konten-konten yang ada. Karena bisa jadi, konten-konten tersebut dibuat oleh AI."
Sementara itu, bersamaan dengan perkembangan AI, rupanya beberapa platform media sosial sudah mulai menerapkan langkah keamanan mereka untuk melindungi penggunanya.
Media sosial sudah mulai membatasi konten-konten di platform mereka dengan mendeteksi konten-konten yang diduga buatan AI.
Advertisement
Pakar Digital: Pemilu 2024 Banyak Konten Berbasis AI
Sementara itu, teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan menjadi ancaman yang harus diwaspadai pada periode Pemilu 2024. Pasalnya, teknologi ini berpotensi menghasilkan informasi hoaks yang dapat mengancam berjalannya pemilu dengan damai.
Seperti yang diberitakan Cek Fakta Liputan6.com sebelumnya, Technology dan Digital Start-up Founder, Ferry Sutanto mengatakan, tidak seperti Pemilu 2019 yang berbasis di media sosial, Pemilu 2024 akan banyak konten menggunakan teknologi AI.
Ia menambahkan, akan ada foto-foto atau video tokoh-tokoh, seperti capres-cawapres, tokoh masyarakat, hingga kerabat di Facebook yang dikemas secara realistis. Mereka akan dibuat seolah-olah mengatakan atau melakukan apa yang tidak pernah mereka lakukan menggunakan teknologi deepfake.
"Kalau kita lihat di Pemilu 2019 mengambil tema atau topiknya itu socmed based. Nah, di tahun depan, bahkan mulai sekarang pun, itu Pemilu nya akan bertopik dan banyak menggunakan AI, dan itu harus diwaspadai," ujarnya saat menjadi narasumber dalam Virtual Class Liputan6.com bertajuk 'Hoaks Politik Menggunakan AI Mengancam, Bagaimana Menangkalnya?', Rabu (29/11/2023).
Perlu Adanya Edukasi Literasi Digital tentang AI
Sehubungan dengan hal tersebut, masyarakat perlu membekali diri dengan edukasi literasi digital mengenai teknologi kecerdasan buatan. Hal ini perlu dilakukan agar mereka dapat mendeteksi dan tidak terjebak oleh hoaks-hoaks hasil produksi teknologi ini.
Adapun Ferry memaparkan hal-hal yang harus dilakukan masyarakat, agar dapat menghindari bahaya AI, antara lain dengan selalu mengedukasi diri dengan informasi dari kanal resmi, tidak mudah percaya, dan selalu melakukan pengecekan fakta setiap informasi yang diterima.
"Yang pertama adalah kita harus terus perkaya diri. Belajar tidak hanya di sekolah, terutama soal pemilu dan teknologi. Yang kedua auto-ragu, jangan langsung percaya, kecuali sumber beritanya resmi. Lalu, lakukan research mandiri. Yang keempat, itu kita harus saling memaafkan. Dan yang kelima, yang paling mudah adalah mematikan auto-download pada aplikasi WhatsApp," jelasnya.
Selanjutnya, saat ditanya mengenai cara membedakan AI, Ferry mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hal yang sulit. Menurutnya, saat ini perlu AI tools juga untuk membedakan konten AI yang semakin realistis.
"Untuk sekarang, membedakan itu sudah sangat sulit. Kita perlu AI lagi, sih, untuk fact-checking ini. Secara kasat mata, untuk membedakan mana konten AI dan bukan itu sudah sulit. Sudah makin realistis. Jadi, kita perlu AI tools untuk membedakan metadata yang ada pada foto atau video," imbuh Ferry.
Advertisement