Sukses

Alphabet Bayar Denda Rp 5,4 Triliun Terkait Kebocoran Data Google+

Data jutaan pengguna Google+ terekspos ke pengembang pihak ketiga sebelum perusahaan menemukan pelanggaran data pada tahun 2018.

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan induk Google, Alphabet, setuju membayar denda sebesar USD 350 juta atau sekitar Rp 5,4 triliun untuk menyelesaikan gugatan class action terkait pelanggaran data pada platform media sosialnya yang sekarang sudah tutup, Google+ (Google Plus).

Mengutip Gizchina, Jumat (9/2/2024), dana ini akan digunakan untuk menyelesaikan kebocoran data pribadi pemerintah Negara Bagian Amerika Serikat (AS), Rhode Island di Google+.

Data jutaan pengguna Google+ terekspos ke pengembang pihak ketiga sebelum perusahaan menemukan pelanggaran data pada tahun 2018. Gugatan tersebut bermula dari kelemahan keamanan yang mengungkap data pribadi pengguna Google+ selama beberapa tahun.

Bendahara Rhode Island, James Diossa, memimpin gugatan untuk dana pensiun negara yang memiliki saham di Alphabet.

Pengadilan memutuskan Google tidak mengungkapkan pelanggaran data tersebut karena khawatir hal ini akan tunduk pada pengawasan peraturan dan publik.

Kasus ini mirip dengan Facebook yang mendapat sorotan tajam setelah Cambridge Analytica yang berbasis di London mengumpulkan data pengguna untuk pemilu AS pada 2016.

Diossa mengklaim situasi Facebook masih baru pada saat itu dan mungkin menyebabkan Google menyembunyikan pelanggaran data Google Plus.

Namun demikian, ketika berita tentang pelanggaran itu menyebar ke publik, saham Alphabet anjlok beberapa kali dan menghapus nilai pasar senilai puluhan miliar dolar.

Menurut dokumen yang diajukan ke Pengadilan AS untuk Distrik Utara California, orang yang membeli saham Google antara tanggal 23 April 2018 hingga 30 April 2019, akan dapat mengajukan bagian dari penyelesaian tersebut.

Selain itu, akan ada pemberitahuan bagi investor yang memenuhi syarat dan Google memiliki portal dengan informasi yang relevan.

 

2 dari 4 halaman

500 Ribu Data Pengguna Bocor

Pelanggaran yang terjadi antara tahun 2015 dan 2018 ini mengungkap data pribadi sekitar 500.000 pengguna Google+.

Menurut Washington Post, data yang terungkap mencakup nama, tanggal lahir, jenis kelamin, email, status hubungan, pekerjaan, dan tempat tinggal mereka.

Google menyadari adanya kelemahan keamanan pada tahun 2018, tetapi memilih untuk tidak mengungkapkannya kepada publik atau pemegang saham pada saat itu.

Penundaan pengungkapan dan potensi dampak terhadap privasi dan keamanan pengguna menyebabkan tindakan hukum terhadap perusahaan.

Pada saat itu, gugatan class action diajukan oleh penggugat Matt Matic dan Zak Harris, dengan tuduhan bahwa tindakan keamanan data Google yang tidak memadai, serta penundaan pengungkapan pelanggaran tersebut membahayakan privasi informasi pengguna dan membuat mereka rentan terhadap risiko pencurian identitas.

3 dari 4 halaman

Google Gagal Ajukan Banding

Gugatan tersebut juga mengklaim bahwa Google tidak mengambil tindakan yang memadai untuk mencegah akses tidak sah ke data pengguna dan gagal melaporkan pelanggaran tepat waktu.

Litigasi pun terjadi, dan pada tahun 2020, Google mencapai penyelesaian gugatan kelompok sebesar USD 7,5 juta dengan pengguna yang datanya terpengaruh. Sebagian besar penggugat hanya menerima beberapa dolar (dibatasi USD 12) sebagai kompensasi.

Kasus yang diselesaikan kali ini diajukan oleh pemerintah Rhode Island, yang dana pensiunnya merupakan investor di Google.

Setelah lima tahun menjalani proses pengadilan, Google gagal mengajukan banding atas kasus tersebut ke Mahkamah Agung, dan akhirnya kasus diselesaikan.

4 dari 4 halaman

Infografis Journal_Fakta Tren Istilah Healing Bagi Pengguna Media Sosial (Liputan6.com/Abdillah)

Video Terkini