Liputan6.com, Jakarta - NVIDIA dituntut oleh para penulis buku atas platform kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) besutannya sendiri, NeMo, sebuah bahasa pemrograman yang memungkinkan perusahaan membuat dan melatih chatbot.
Penulis buku ini mengklaim NVIDIA telah menggunakan dataset dari berbagai buku untuk melatih kemampuan AI dari NeMo tanpa izin dari penulis terkait.
Baca Juga
Dikutip dari Engadget, Kamis (14/3/2024), penulis buku bernama Abdi Nazemian, Brian Keene, dan Stewart O’Nan menuntut NVIDIA agar membayar ganti rugi dan menghapus semua salinan kumpulan data Book3 yang digunakan NeMo untuk memberdaya Large Language Model (LLM) mereka.
Advertisement
Para penulis menganggap kumpulan data yang dikolektif NVIDIA berasal dari data yang disalin dari perpustakaan data yang disebut Bibliotek yang terdiri dari 196.640 buku bajakan.
Penulis tersebut menyatakan, “Singkatnya, NVIDIA mengakui bahwa pelatihan model NeMo Megatron berdasarkan salinan dataset The Pile.”
Merespons pernyataan itu, NVIDIA mengungkapkan bahwa mereka menghormati hak pembuat konten dan patuh terhadap undang-undang hak cipta.
"Kami menghormati hak semua pencipta karya dan percaya bahwa kami menciptakan NeMo dengan kepatuhan penuh terhadap undang-undang hak cipta," ujar NVIDIA kepada The Wall Street Journal.
NVIDIA bukanlah satu-satunya perusahaan yang digugat karena pelanggaran hak cipta terhadap generatif AI. Setahun lalu, OpenAI dan Microsoft digugat oleh para penulis cerita nonfiksi.
Mereka mengklaim OpenAI dan Microsoft menghasilkan uang dari karya mereka namun perusahaan menolak untuk membayar royalti ke para penulis tersebut.
Mantan Insinyur Google Diduga Curi Rahasia AI untuk Perusahaan Teknologi di China
Sementara itu, belum lama ini mantan insinyur Google ditangkap di California, AS. Penangkapan itu terjadi karena mantan insinyur itu telah mencuri lebih dari 500 berkas berisi rahasia dagang kecerdasan buatan (AI).
Data curian tersebut nantinya akan digunakan untuk menguntungkan perusahaan teknologi saingan Google di China.
Dalam dakwaan yang disahkan di pengadilan federal California, jaksa penuntut menuduh pria bernama Linwei Ding itu telah mengunggah rahasia dagang dari laptop milik Google ke akun penyimpanan cloud pribadinya.
Dokumen yang dicuri Ding berisi soal infrastruktur AI Google. Ia mengunggahnya ke akun pribadi dalam kurun waktu satu tahun, mulai Mei 2022 hingga Mei 2023.
Warga negara Tiongkok berusia 38 tahun yang mulai bekerja di Google pada 2019 itu ditangkap di Newark, California, dan didakwa dengan empat tuduhan pencurian rahasia dagang.
Jika terbukti bersalah, Ding terancam dijatuhi hukuman hingga 10 tahun penjara dan denda hingga USD 250.000 (sekitar Rp 3,9 miliar) untuk setiap dakwaan.
“Kami memiliki perlindungan yang ketat untuk mencegah pencurian informasi komersial rahasia dan rahasia dagang kami,” kata juru bicara Google José Castañeda kepada Engadget, dikutip Sabtu.
Perkembangan kasus ini terjadi di saat meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China di tengah tren kecerdasan buatan.
Advertisement
Waspadai Generative AI, Wamenkominfo Imbau Masyarakat Berpikir Kritis
Di sisi lain, Wakil Menteri Komunikasi dan Informasi Nezar Patria mengimbau masyarakat waspada terhadap konten hoaks yang dibuat menggunakan Teknologi Generative Artificial Intelligence (AI).
Wamenkominfo menyebur penyalahan kecanggihan teknologi dapat dengan mudah memanipulasi rakyat.
Terlebih, menurutnya tidak semua masyarakat memiliki kemampuan untuk mengolah informasi yang diterima secara bijak.
"Berpikir kritis, ini yang paling penting bisa menangkal hoaks. Pasalnya, hoaks sekarang semakin canggih dan bentuknya macam-macam," ujarnya.
Menurutnya generative AI menghasilkan konten hoaks yang seolah-olah asli, bahkan, juga bisa menjadikan peristiwa yang tidak pernah terjadi seolah otentik dan terjadi.
Oleh karena itu, Nezar Patria menekankan agar masyarakat agar selalu berhati-hati dan mengecek sumber resmi mengenai kebenaran terhadap setiap informasi yang diterima.
"Di sinilah saya kira pentingnya literasi digital. jangan cepat percaya sesuatu yang membangkitkan emosi, sesuatu yang to good to be true sehingga kita larut di dalamnya. Kita periksa lagi sumber-sumber yang otoritatif apakah informasi itu benar adanya," ujarnya mengakhiri.
Infografis Google dan Facebook (Liputan6.com/Abdillah)
Advertisement