Liputan6.com, Jakarta - Para pejabat Amerika Serikat (AS) dan Inggris mengajukan tuntutan, menjatuhkan sanksi, dan menuduh China melakukan spionase dunia maya yang diduga merugikan jutaan orang.
Daftar orang yang terpengaruh ancaman siber ini termasuk anggota parlemen, akademisi dan jurnalis, serta perusahaan seperti kontraktor pertahanan.
Baca Juga
Pihak berwenang menjuluki kelompok peretas itu sebagai Advanced Persistent Threat 31 atau “APT31”, dan menyebutnya terafiliasi dengan Kementerian Keamanan Negara Tiongkok.
Advertisement
Adapun korban yang menjadi incaran APT31 antara lain staf Gedung Putih, senator AS, anggota parlemen Inggris, dan pejabat pemerintah di seluruh dunia yang mengkritik Beijing.
Hanya sedikit korban yang dapat diidentifikasi namanya, namun para pejabat AS mengatakan bahwa kegiatan mata-mata yang dilakukan para peretas selama lebih dari satu dekade itu telah membahayakan kontraktor pertahanan, pembangkang, dan berbagai perusahaan AS (termasuk perusahaan baja, energi, dan pakaian jadi).
"Target lainnya adalah penyedia peralatan telepon seluler 5G dan teknologi nirkabel terkemuka. Bahkan pasangan pejabat senior dan anggota parlemen AS menjadi sasaran," kata para pejabat tersebut, dikutip dari Reuters (Rabu (27/3/2024).
Sementara menurut Wakil Jaksa Agung AS Lisa Monaco, tujuan dari operasi peretasan global ini adalah untuk “menindas para pengkritik rezim China, membobol jaringan lembaga-lembaga pemerintah, dan mencuri rahasia dagang."
7 Orang Hacker Jadi Tersangka
Dalam dakwaan yang diumumkan pada Senin (25/3/2024) terhadap tujuh orang yang diduga sebagai peretas Tiongkok, jaksa penuntut AS di pengadilan mengatakan bahwa peretasan tersebut telah membobol akun kerja, email pribadi, penyimpanan online, dan catatan panggilan telepon milik jutaan warga AS.
Para pejabat di London menuduh APT31 meretas anggota parlemen Inggris yang kritis terhadap Tiongkok dan mengatakan bahwa kelompok kedua mata-mata Tiongkok berada di balik peretasan pengawas pemilu yang secara terpisah membobol data jutaan orang di Inggris.
Diplomat Tiongkok di Inggris dan AS menepis tuduhan tersebut dan menganggapnya tidak berdasar. Kedutaan Besar Tiongkok di London menyebut tudingan itu sebagai fitnah palsu dan keji.
Di sisi lain, pengumuman tujuh tersangka peretas yang didakwa oleh Departemen Kehakiman diumumkan ketika Inggris dan AS menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang berkaitan dengan Kementerian Keamanan Negara.
Departemen Keuangan AS dalam sebuah pernyataan mengatakan sanksi tersebut ditujukan terhadap Lembaga Sains dan Teknologi Xiaoruizhi di Wuhan, serta dua warga negara Tiongkok.
“Pengumuman ini mengungkap upaya Tiongkok yang terus-menerus dan kurang ajar untuk melemahkan keamanan siber negara dan menargetkan orang Amerika serta inovasi kami,” kata Direktur FBI Christopher Wray dalam sebuah pernyataan.
Advertisement
Ketegangan Isu Spionase AS-China
Ketegangan mengenai isu-isu yang berkaitan dengan spionase dunia maya kian meningkat antara Beijing dan Washington, seiring dengan semakin banyaknya badan intelijen Barat yang memberikan peringatan atas dugaan aktivitas peretasan yang didukung negara Tiongkok.
Tiongkok juga dalam beberapa tahun terakhir mulai menyerukan dugaan operasi peretasan Barat. Misalnya, tahun lalu, Kementerian Keamanan Negara mengklaim Badan Keamanan Nasional AS telah berulang kali menyusup ke jaringan raksasa telekomunikasi Tiongkok, Huawei Technologies.
Jaksa AS mendaftarkan banyak korban yang tidak disebutkan namanya di seluruh dunia yang menjadi sasaran, namun beberapa di antaranya menonjol dalam dakwaan.
"Pada tahun 2020, para peretas Tiongkok menargetkan staf yang bekerja untuk kampanye kepresidenan AS," kata seorang jaksa.
Pengungkapan ini sesuai dengan laporan publik Google pada saat itu bahwa peretas Tiongkok mengirim email jahat ke tim kampanye Presiden Joe Biden, namun tidak ada kompromi yang terdeteksi.
Dugaan misi lainnya melibatkan peretasan sebuah perusahaan AS yang terkenal dengan penelitian opini publik pada 2018, tahun yang sama dengan pemilu paruh waktu AS.
“Politisi, partai, dan organisasi pemilu adalah sumber intelijen yang kaya dan menawarkan segala hal kepada para kolektor, mulai dari wawasan geopolitik yang langka hingga kumpulan data melimpah," kata John Hultquist, kepala analis untuk firma intelijen keamanan siber AS, Mandiant, yang merupakan sebuah divisi dari induk Google (Alphabet).
“Seperti yang telah kita lihat dalam siklus pemilu sebelumnya, aktor seperti APT31 beralih ke organisasi politik untuk menemukan informasi intelijen geopolitik yang harus mereka kumpulkan,” Hultquist memungkaskan.