Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Joe Biden dilaporkan telah menyetujui aturan baru yang bisa mengancam kehadiran TikTok di negara tersebut. Sebab, dengan aturan baru ini, Amerika Serikat bisa memblokir TikTok jika tidak melakukan divestasi perusahaan.
Mengutip informasi dari The Verge, Kamis (25/4/2024), dengan disahkannya aturan ini, ByteDance sebagai pemilik TikTok untuk mematuhinya atau angkat kaki dari Amerika Serikat.
Baca Juga
Disebutkan, perusahaan diberi waktu sembilan bulan untuk mematuhi aturan tesebut. Namun, Presiden AS disebut bisa memperpanjang durasa tersebut jika dilihat ada kemajuan yang dilakukan perusahaan.
Advertisement
Menanggapi aturan ini, juru bicara TikTok Alex Haurek menyatakan pihaknya berencana menggugat undang-undang tersebut di pengadilan Amerika Serikat.
"Sambil kami terus menentang larangan yang tidak konstitusional ini, kami akan terus berinvestasi dan berinovasi untuk memastikan TikTok tetap menjadi ruang bagi orang Amerika dari semua lapisan masyarakat dengan aman berbagai pengalaman, menemukan kegembiraan, dan mendapatkan inspirasi," tutur Alex.
CEO TikTok Shou Chew pun menyatakan tanggapannya melalui unggahan di TikTok. Ia menyatakan, kalau langkah ini jelas-jelas merupakan pemblokiran.
Untuk diketahui, DPR AS pada 20 April 2024, menyetujui RUU yang berpotensi melarang peredaran TikTok di AS jika mereka gagal melakukan divestasi dari induk perusahaannya di Tiongkok, Bytedance.
Sebagaimana dilansir Livemint, DPR AS telah menyetujui RUU tersebut dengan suara kuat 360 berbanding 58. Setelah mendapatkan persetujuan, RUU ini pun tiba ke meja Presiden Biden dan telah ditandatangani.
Adapun langkah ini tidak lepas dari banyaknya anggota parlemen dari berbagai partai--baik dari partai Republik dan Demokrat, serta pemerintahan Biden-- yang menyuarakan kekhawatiran tentang TikTok.
Alasan yang mereka gunakan adalah soal keamanan nasional. Mereka khawatir Tiongkok akan memaksa perusahaan tersebut untuk membagikan data 170 juta penggunanya di AS.
Kritikan Pedas TikTok
Sebelumnya, TikTok sempat mengkritik RUU yang gagal mencapai kemajuan di Senat, dengan alasan bahwa undang-undang tersebut akan membungkam suara jutaan warga AS.
Platform video pendek ini juga menentang larangan tingkat negara bagian di Montana tahun lalu, dengan alasan pelanggaran Amandemen Pertama.
TikTok menyatakan mereka tidak pernah membagikan data warga AS dan berjanji tidak akan melakukan hal serupa di masa mendatang.
Senator Demokrat Mark Warner, ketua Komite Intelijen Senat, menyoroti kekhawatiran mengenai potensi TikTok sebagai alat propaganda bagi pemerintah Tiongkok, khususnya di kalangan pengguna muda yang mencari berita.
“Gagasan bahwa kami akan memberikan Partai Komunis alat propaganda serta kemampuan untuk mengikis 170 juta data pribadi orang Amerika, adalah risiko keamanan nasional,” katanya kepada CBS News.
Advertisement
Potensi Larangan TikTok
Persatuan Kebebasan Sipil Amerika (American Civil Liberties Union/ACLU) menentang RUU DPR itu atas dasar kebebasan berpendapat.
Knight First Amendment Institute di Universitas Columbia juga mengkritik RUU terbaru ini dengan alasan bahwa efektivitasnya terbatas.
"Karena musuh seperti Tiongkok masih dapat mengakses data AS melalui broker dan memanfaatkan platform media sosial yang berbasis di AS untuk kampanye disinformasi," ujarnya.
Beberapa anggota Partai Demokrat juga mempertanyakan konstitusionalitas larangan tersebut, dan malah menganjurkan undang-undang privasi data yang kuat.
Perwakilan Demokrat Ro Khanna menyatakan keraguannya mengenai kelayakan hukum pelarangan TikTok, dengan alasan perlindungan konstitusional terhadap kebebasan berpendapat.