Liputan6.com, Jakarta - Telegram mengungkap telah memenuhi 900 permintaan pemerintah Amerika Serikat (AS), untuk membagikan informasi nomor telepon atau alamat IP dari 2.253 pengguna kepada penegak hukum.
Jumlah ini melonjak tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan sebagian besar permintaan diproses pasca perubahan kebijakan platform terkait pembagian data pengguna yang diumumkan pada September 2024.
Baca Juga
Aplikasi Telegram yang dikenal sebagai platform komunikasi untuk berinteraksi dengan teman dan keluarga, berdiskusi dengan komunitas, serta sebagai sarana untuk menghindari sensor pemerintah, dilaporkan juga banyak dimanfaatkan untuk kejahatan siber.
Advertisement
Pelaku kejahatan siber umumnya menggunakan platform ini untuk menjual layanan ilegal, melancarkan serangan, menjual data curian, atau sebagai server komando dan kontrol untuk perangkat lunak berbahaya mereka. Demikian sebagaimana dikutip dari Bleeping Computer, Jumat (10/1/2025).
Seperti yang pertama kali dilaporkan 404 Media, informasi baru mengenai pemenuhan permintaan penegak hukum ini berasal dari Laporan Transparansi Telegram untuk periode 1 Januari 2024 hingga 13 Desember 2024.
Sebelumnya, perusahaan hanya membagikan alamat IP dan nomor telepon pengguna Telegram dalam kasus terorisme dan hanya memenuhi 14 permintaan yang memengaruhi 108 pengguna hingga 30 September 2024.
Â
Penjelasan Telegram
Setelah perubahan kebijakan privasinya, Telegram kini akan membagikan data pengguna dengan penegak hukum dalam kasus kejahatan lainnya, termasuk kejahatan siber, penjualan barang ilegal, dan penipuan daring.
"Jika Telegram menerima perintah yang sah dari otoritas yudisial terkait yang mengonfirmasi bahwa Anda adalah tersangka dalam kasus yang melibatkan aktivitas kriminal yang melanggar Ketentuan Layanan Telegram, kami akan melakukan analisis hukum terhadap permintaan tersebut dan dapat mengungkapkan alamat IP dan nomor telepon Anda kepada pihak berwenang terkait," demikian bunyi pembaruan kebijakan privasi Telegram.
Perubahan ini terjadi sebagai respons terhadap tekanan dari pihak berwenang, yang berpuncak pada penangkapan pendiri dan CEO Telegram, Pavel Durov, pada akhir Agustus di Prancis.
Â
Advertisement
Laporan Badan Intelijen
Durov kemudian menghadapi sejumlah dakwaan, termasuk keterlibatan dalam kejahatan siber, penipuan terorganisir, dan distribusi materi ilegal, serta penolakan untuk memfasilitasi penyadapan yang sah yang bertujuan untuk membantu penyelidikan kejahatan.
Meskipun perubahan kebijakan tersebut menyebabkan beberapa kelompok kejahatan siber mengumumkan pengunduran diri mereka dari Telegram, perusahaan intelijen kejahatan siber KELA melaporkan pada Desember bahwa lanskap tersebut belum berubah.
Meskipun peningkatan signifikan dalam praktik berbagi data pengguna yang tercatat pada kuartal terakhir tahun 2024 menunjukkan perubahan dalam strategi Telegram, gambaran yang lebih jelas akan diberikan pada April 2025, ketika laporan transparansi berikutnya dijadwalkan untuk dipublikasikan.