Kabar mengenai rencana merger PT XL Axiata dengan Axis Telecom semakin berhembus kencang. Hingga saat ini kedua perusahaan memang belum mengumumkan secara resmi mengenai proses akuisisi.
Meski begitu, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mengatakan bahwa XL dan Axis sudah mengirim surat kepada Kementerian Kominfo. Tifatul pun melihat belum ada pelanggaran dari proses merger yang terus intens dilakukan.
"Saya melihat bahwa itu sesuai dengan peraturan perundangan," kata Tifatul saat ditemui di kediamannya, hari ini, Senin (15/7/2013).
Tifatul mengakui bahwa proses perundang-undangan di Indonesia soal merger operator memang tak mudah. "Peraturan kita banyak. Sampai 16 peraturan. Jepang saja empat," tutur Tifatul.
Tapi menurut Tifatul, jika merger ini jadi dilakukan maka akan terjadi penyederhanaan jumlah operator. "Kalau memang ada penyederhanaan, silakan," ucapnya.
Pekan lalu, Presiden Direktur PT XL Axiata Hasnul Suhaimi mengaku XL dan Axis belum memiliki kesepakatan apapun terkait merger. Menurut Hasnul, saat ini XL sendiri baru melakukan konsultasi kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) guna mendapatkan arahan soal aturan dan regulasi untuk melakukan merger.
"Kami berkonsultasi untuk meminta aturan untuk ini. Seandainya ada aturan, itu apa, sehingga kami mengikuti aturannya. Untuk melakukan corporate action harus jelas terkait hitung-hitungan dan regulasinya. Tetapi ini belum ada yang nyata sampai saat ini," ujar Hasnul.
Hasnul melanjutkan, proses pengajuan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha akan dilakukan bila sudah mendapatkan arahan dari Kominfo dan jelas mengenai keuntungan yang didapat. "Kalau Kominfo memang sudah memberikan arahan, dan hitung-hitungannya sudah cocok, menguntungkan dan sudah ada perjanjian, baru akan ke KPPU," katanya.
Niat untuk menggabungkan dua operator menjadi satu ternyata harus berhadapan dengan Undang-Undang nomor 36 tahun 1999 yang bisa memasukkannya dalam praktek monopoli, kecuali kedua perusahaan tersebut mau untuk melakukan merger dan 'mematikan' salah satu perusahaannya.
Pelaksanaan merger pun dianggap sebagai batu sandungan karena pada Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 1999 yang tidak mengizinkan frekuensi dan block number dipindah-tangan. Dengan kata lain, meskipun sebuah perusahaan telah membeli perusahaan lainnya, mereka tetap tak bisa memiliki frekuensi dan block number milik perusahaan yang dibelinya.
"Ketika sebuah perusahaan melakukan merger maka pembeli hanya mendapat aset berupa gedung, karyawan, infrastruktur dan operator tanpa nomor. Sedangkan frekuensi dan block number harus dikembalikan kepada pemerintah, terus buat apa mereka beli perusahaan lain?," kata Alex J. Sinaga, Ketua Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia, beberapa waktu lalu. (gal)
Meski begitu, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mengatakan bahwa XL dan Axis sudah mengirim surat kepada Kementerian Kominfo. Tifatul pun melihat belum ada pelanggaran dari proses merger yang terus intens dilakukan.
"Saya melihat bahwa itu sesuai dengan peraturan perundangan," kata Tifatul saat ditemui di kediamannya, hari ini, Senin (15/7/2013).
Tifatul mengakui bahwa proses perundang-undangan di Indonesia soal merger operator memang tak mudah. "Peraturan kita banyak. Sampai 16 peraturan. Jepang saja empat," tutur Tifatul.
Tapi menurut Tifatul, jika merger ini jadi dilakukan maka akan terjadi penyederhanaan jumlah operator. "Kalau memang ada penyederhanaan, silakan," ucapnya.
Pekan lalu, Presiden Direktur PT XL Axiata Hasnul Suhaimi mengaku XL dan Axis belum memiliki kesepakatan apapun terkait merger. Menurut Hasnul, saat ini XL sendiri baru melakukan konsultasi kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) guna mendapatkan arahan soal aturan dan regulasi untuk melakukan merger.
"Kami berkonsultasi untuk meminta aturan untuk ini. Seandainya ada aturan, itu apa, sehingga kami mengikuti aturannya. Untuk melakukan corporate action harus jelas terkait hitung-hitungan dan regulasinya. Tetapi ini belum ada yang nyata sampai saat ini," ujar Hasnul.
Hasnul melanjutkan, proses pengajuan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha akan dilakukan bila sudah mendapatkan arahan dari Kominfo dan jelas mengenai keuntungan yang didapat. "Kalau Kominfo memang sudah memberikan arahan, dan hitung-hitungannya sudah cocok, menguntungkan dan sudah ada perjanjian, baru akan ke KPPU," katanya.
Niat untuk menggabungkan dua operator menjadi satu ternyata harus berhadapan dengan Undang-Undang nomor 36 tahun 1999 yang bisa memasukkannya dalam praktek monopoli, kecuali kedua perusahaan tersebut mau untuk melakukan merger dan 'mematikan' salah satu perusahaannya.
Pelaksanaan merger pun dianggap sebagai batu sandungan karena pada Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 1999 yang tidak mengizinkan frekuensi dan block number dipindah-tangan. Dengan kata lain, meskipun sebuah perusahaan telah membeli perusahaan lainnya, mereka tetap tak bisa memiliki frekuensi dan block number milik perusahaan yang dibelinya.
"Ketika sebuah perusahaan melakukan merger maka pembeli hanya mendapat aset berupa gedung, karyawan, infrastruktur dan operator tanpa nomor. Sedangkan frekuensi dan block number harus dikembalikan kepada pemerintah, terus buat apa mereka beli perusahaan lain?," kata Alex J. Sinaga, Ketua Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia, beberapa waktu lalu. (gal)