Sukses

Mekanisme Blokir Konten Internet di Indonesia Tak Jelas

"Mekanisme filtering konten Internet di Indonesia adalah ad hoc, pemerintah menggunakan pihak ketiga untuk melakukan pemblokiran."

Liputan6.com, Bali - Sudah menjadi rahasia umum, pemerintah menerapkan kebijakan sensor internet (internet filtering) di Indonesia, termasuk di antaranya konten pornografi dan perjudian. Namun sayangnya mekanisme filtering konten internet yang dilakukan tidak jelas.

Hal itu diakui oleh Citizen Lab di sela acara forum internet dunia atau Internet Governance Forum (IGF) 2013 yang digelar di Bali Nusa Dua Convention Center. Wartawan Tekno Liputan6.com, Dewi Widya Ningrum, sempat berbincang-bincang sejenak dengan Ronald Deibert, Director Citizen Lab of Canada Centre for Global Security Studies.

Berdasarkan tes yang dilakukan Citizen Lab, selain pornografi dan judi, beberapa konten yang disensor di Indonesia termasuk konten yang terkait dengan lesbian dan gay, seksual, dan juga beberapa konten yang terkait Islam.

Namun sayangnya mekanisme sensor konten yang dilakukan pemerintah tidak jelas. "Mekanisme filtering konten Internet di Indonesia adalah ad hoc, pemerintah memerintahkan pihak ketiga untuk melakukan pemblokiran," ujar Deibert menanggapi soal sensor internet. 

Hasil riset Citizen Lab menemukan bahwa ketika ada sebuah situs diblokir (padahal seharusnya tidak perlu diblokir), lalu setelah diberitahu ISP kemudian membuka blokirnya hanya dalam hitungan menit. Bagaimana mekanismenya Citizen Lab sendiri belum mengetahuinya.

"Proses pemblokirannya tidak jelas dan itu bisa menjadi potensial abuse," tuturnya lagi.

Pemblokiran konten adalah salah satu bentuk pengontrolan informasi. Isu ini merupakan salah satu isu seksi yang dibahas di IGF 2013. Banyak negara telah menerapkan kebijakan sensor internet untuk membatasi akses terhadap informasi. Kontrol konten juga dilakukan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk membatasi kebebasan berpendapat di dunia maya atau media lainnya.

Sejak tahun 2003, Citizen Lab sebagai salah satu pendiri OpenNet Initiatives telah melakukan penelitian mengenai filtering di 74 negara, dan menemukan bahwa 42 dari 74 negara tersebut melakukan filtering. Tipe konten yang harus melalui filtering berbeda-beda di setiap negara, tergantung dari konteks politik, legal, sosial, dan budaya lokal.