Liputan6.com, Aceh - Hidup dikepung sarang buaya harus terus menerus waspada. Pasang mata dan pasang telinga setiap saat. Malam itu seperti malam-malam sebelumnya. Warga Desa Siti ambia, Aceh Singkil pun bergiliran memantau perkembangan sarang-sarang buaya, termasuk sarang-sarang baru di kaki Gunung Leuser.
Di antara kewaspadaan dan rasa takut tentu sering menyelinap di hati penumpang biduk patroli. Apalagi bila dari kejauhan sudah tertangkap sinar mata buaya. Atau bahkan kelebat badan buaya yang nampak jelas.
Bayi buaya mulai muncul, bahkan tidak merasa terganggu dengan kehadiran biduk kami. Ini berarti populasi buaya sudah berkembang sangat cepat.
Biduk mulai menembus rerimbunan hutan rawa. Hati-hati ini kawasan yang disukai buaya-buaya muara, kecelakaan bisa saja terjadi dalam hitungan detik. Buaya-buaya besar yang sedang di dasar tiba-tiba menyerang biduk yang sedang melintas, karena ia sensitif terhadap benda yang bergerak di atasnya.
Buaya-buaya yang dianggap sudah mengancam keselamatan warga diburu dan di tangkap. Salah satunya seperti buaya yang ditawan dibelakang rumah warga.
Desis-desis amarah buaya masih selalu terdengar saat didekati. Panjang buaya muara yang terkenal keganasannya ini memiliki sekitar 3 meter.
Sebaran buaya-buaya ini tak hanya di rawa-rawa, namun sudah masuk ke wilayah desa. Ini jelas ancaman. Sungai tempat mandi dan bermain anak-anak pun sudah mulai di duduki buaya.
Pertarungan antara buaya dan manusia yang tak kunjung usai di kawasan rawa Singkil. Salah satunya karena keduanya tinggal berhimpitan di kawasan rawa.
Saat buaya-buaya ini beraktivitas dan berkembang biak di kawasan swaka marga satwa seolah aman, undang-undang pun melindungi kawasan ini. Namun masalah datang, warga juga mencari nafkah dengan melewati garis demarkasi kawasan hunian.
Seperti kawasan ini, tadinya sebelum gempa yang mengguncang Pulau Nias, yakni masih kawasan hunian, namun gempa membuat tanah turun sekitar 2 meter, ini terlihat dari tonggak-tonggak pokok pohon yang terendam separuh.
Di kawasan konservasi, tinggal beberapa satwa yang statusnya dilindungi seperti orang utan.
Kami berusaha menemukan orang utan, keputusannya kami harus menembus rerimbunan rawa. Sarang orang utan teronggok di atas pohon. Ini berarti tak jauh lagi akan bertemu orang utan.
Elang si burung raptor atau pemangsa juga ditemui di sini. Dan keberuntungan berpihak pada kami, ibu orang utan bersama bayinya sedang duduk di atas pohon dengan ketinggian diperkirakan 40 meter.
Itu kebiasaan yang berbeda dengan orang utan jantan, ibu orang utan ini terkesan malu dengan menutupi wajahnya, namun bila jantan ia akan tampakkan kejantanannya.
Meskipun tampak lamban, buaya adalah pemangsa puncak di lingkungannya. Tubuhnya yang besar dan kekuatan giginya menjadikan buaya predator paling atas, semua bisa menjadi makanannya.
Kekuatan tekanan gigitan buaya tak kurang 5 ribu pounds per inch atau 15 kali kekuatan gigitan anjing rottweiler atau 13 kali gigitan hiu putih raksasa. Seekor bebek pun bisa dilumat dalam sekejap.
Sementara peningkatan populasi buaya yang masif tentu akan menimbulkan masalah.
Bagaimana keganasan buaya muara menghantui aktivitas warga Aceh Singkil? Saksikan selengkapnya dalam tayangan Potret Menembus Batas SCTV, Minggu (6/7/2015), di bawah ini. (Dan/Ali)
Potret Menembus Batas: Penghuni Rawa Kaki Leuser
Warga Aceh Singkil hidup dikepung sarang buaya harus terus menerus waspada. Pasang mata dan pasang telinga setiap saat.
Advertisement