Liputan6.com, Jakarta - Jakarta. Hari ini menjadi kota megah sejajar dengan kota-kota besar dunia lainya. Jakarta menjadi poros Indonesia saat berhubungan dengan negara-negara ke seluruh dunia. Jakarta seolah pembawa simpul kehendak bersatu dari ujung barat Indonesia hingga ujung timur Indonesia.
Di kota ini, pemimpin negara membawa kejayaan rakyatnya. Di kota ini, kehendak sejahtera bersama dititipkan pada wakilnya. Bersatu adalah sebuah ide yang telah membawa pada kejayaan seperti sekarang ini. Indonesia hadir dari sebuah ide kebangsaan.
Sebagai jantung Indonesia, Jakarta masih menggenggam ide itu. Sebuah bangunan berdiri kokoh menggapai langit. Seperti paku bumi menancap tanah lapang di depan Istana Negara. Ia adalah simbol ide kebangsaan. Ide kebangsaan didengungkan Ir. Soekarno pada dunia. Titik nol Jakarta. Menyingkirkan imperialisme dan menegakkan kekuasaan bangsa.
Advertisement
Lingga, Yoni simbol dasar kesuburan yang hidup pada masa prasejarah Indonesia, dipilih menjadi model Monumen Nasional (Monas). Kesatuan harmonis yang saling melengkapi. Dan ini harus terus menyala di dalam dada-dada anak bangsa, maka api di puncak Monas adalah semangat yang tak pernah padam.
Sukarno membidik Jakarta sebagai wajah Indonesia. Bagi Sukarno, Jakarta adalah panggung. Wajah-wajah Indonesia harus tampil di sini. Sukarno yang juga seorang arsitek, menyalurkan ideologi-ideologi perjuangan dalam bentuk bangunan. Bangunan yang membangun semangat persatuan.
Patung Dirgantara atau orang lebih mengenalnya dengan patung pancoran. Patung ini menggambarkan manusia angkasa, semangat keberanian bangsa Indonesia untuk menjelajah angkasa.
Ditempatkan di lokasi yang amat strategis, menjadikan patung perunggu seberat 11 ton ini, pintu gerbang menuju Jakarta bagi yang baru mendarat dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Bangunan-bangunan selalu mewakili keunggulan bangsa, jati diri yang harus dimunculkan sebagai lecut anak bangsa untuk maju.
Tugu Selamat Datang, Hotel Indonesia, Gelora Bung Karno, dibangun untuk kapasitas 100 ribu orang, 50 tahun silam pernah menjadi salah satu yang terbesar di dunia.
Sebuah konstruksi khusus "temu gelang" diminta khusus oleh Sukarno untuk melindungi tak hanya podium, namun juga penonton dari panas dan hujan. Atap baja besar yang membentuk cincin raksasa.
Salah satu bangunan bersejarah lainnya adalah Kompleks Parlemen. Presiden Sukarno kala itu mendedikasikan gedung berbentuk kubah itu untuk Conefo (conference of the new emerging forces). Poros baru untuk dunia, bentukan semangat menghapus segala bentuk penjajahan di muka bumi. Kini bangunan ini digunakan sebagai gedung parlemen.
Dunia barat dan timur mulai mendengar gagasan-gagasan besar Sukarno. Pancasila mulai diperdengarkan di berbagai belahan dunia. Ketuhanan, nasionalisme, persatuan, kedaulatan dan kerakyatan. Pemikiran Sukarno, proklamator kemerdekaan RI, pemimpin besar revolusi, yang hingga akhir hayatnya memiliki 26 gelar doktor honoris causa dari 26 universitas dalam dan luar negeri, yakin negara akan maju dengan 5 dasar negara itu.
Presiden Sukarno semakin banyak memberikan gagasan-gagasan kepada dunia internasional. Baru 10 tahun merdeka, tahun 1955 Presiden Sukarno berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Konferensi yang pada gilirannya menghasilkan Gerakan Non Blok.
Dalam menjalankan politik luar negeri bebas aktif, Sukarno mengunjungi beberapa negara, di antaranya Nikita Khruschev (Uni Soviet) John F Kennedy (Amerika Serikat) Fidel Castro (Kuba) dan Mao Tse Tung (Republik Rakyat China).
Sukarno, presiden kharismatik dan orasinya bisa membakar semangat bangsa. Rumah Haji Oemar Cokroaminoto cukup menyimpan cerita Sukarno muda.
emikiran dan gelora nasionalisme Sukarno tak bisa dilepaskan dari sosok Haji Oemar Said Cokroaminoto. Sukarno muda pun tinggal di rumah guru politik pertamanya, sekaligus mertua kelak di kemudian hari. Dan dari sini pemikiranya tumbuh semakin kuat menjadi nasionalis.
Saksikan perjuangan Presiden Sukarno memperjuangkan dan membangun Ibukota Indonesia yang ditayangkan Potret Menembus Batas SCTV, Minggu (16/8/2015), di bawah ini.
Â