Liputan6.com, Jakarta - Dewie Yasin Limpo boleh saja menyangkal. Namun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasti juga mempunyai alasan untuk meminta Dewie mengenakan rompi berwarna orange.
Anggota Komisi VII DPR itu ditangkap setelah sebelumnya KPK menangkap 4 orang di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dari tangan mereka disita uang sebanyak 177.700 dollar Singapura atau Rp 1,7 miliar.
Baca Juga
Dari Kelapa Gading, KPK menangkap Dewie di Bandara Soekarno Hatta. Kabarnya, uang Rp 1,7 miliar itu mau diberikan ke Dewie agar memasukkan proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kabupaten Dei Yai, Papua ke RAPBN 2016.
Advertisement
Wanita tersandung korupsi sebenarnya bukan cerita baru. Sebelumnya, KPK pernah menangkap artis Angelina sondakh yang merupakan mantan anggota fraksi Partai Demokrat.
Jejak Angie yang juga mantan Puteri Indonesia banyak tertinggal dalam kasus pat gulipat anggaran di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Sebagai mitra kerja di DPR, Angie terbukti aktif mengawal sejumlah proyek. Tentu saja dengan iming-iming komisi fee berupa apel washington dan apel malang.
Angie yang kasusnya banyak diliput media akhirnya divonis 12 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Dia juga diwajibkan membayar uang pengganti hampir Rp 40 miliar.
Sedangkan politisi Partai Amanat Nasional Waode Nurhayati, kedapatan menerima suap untuk mengalokasikan dana penyesuaian infrastruktur daerah Pidie Jaya, Aceh Besar, dan Bener Meriah.
Belakangan, Waode juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan jumlah uang Rp 50,5 miliar di rekeningnya. Sungguh angka yang tidak sedikit.
Lalu bagaimana komentar masyarakat tentang para politisi-politisi wanita itu? Sudah kaya tapi masih korupsi juga?
"Racun dunia itu kan perempuan, jadi terkadang orang kasihan, ah jangan dia perempuan. Padahal sebenarnya perempuan paling bahaya karena saya perempuan. Jadi mereka bisa memanfaatkan, kalau perempuan yang tidak baik, bisa memanfaatkan atas dasar karena dia wanita, lemah, terus malah wanita itu pintar," ujar salah seorang anggota band Chua.
"Hanya perempuan-perempuan yang punya prinsip sangat kuat untuk membangun negeri ini, yang tidak bergeming dengan tarikan-tarikan untuk menghalalkan semua cara," ungkap salah seorang peneliti Siti Zuhro.
Selanjutnya ada gubernur wanita pertama di Indonesia Ratu Atut Chosiyah juga berperkara di KPK bersama adiknya Tubagus Chaeri Wardana. Atut menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dalam sengketa Pilkada Lebak, Banten.
Atut yang divonis 7 tahun penjara juga dijerat dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten.
Istri muda Gubernur Sumatera Utara Evy Susanti juga harus merasakan naik turun tangga Gedung KPK. Evy diduga aktif membantu suaminya Gatot Pudjo Nugroho menyuap hakim PTUN Medan yang sedang menangani kasus korupsi dana Bansos Pemprov Sumut.
Evy Susanti dan Dewie Yasin Limpo mestinya berkaca. Tak ada seorang wanita pun yang tersangkut korupsi bisa lolos dari jeratan hukum.
Miranda Goeltom, Artalyta Suryani, sampai Nunun Nurbaeti tahu persis bagaimana dinginnya lantai penjara.
Indonesia berbeda dengan Tiongkok. Di sana, tak ada ampun bagi pencoleng uang negara. Hukuman mati menjadi ganjarannya. Seperti halnya yang dialami oleh Wang Shou Xin setelah melakukan penggelapan uang. Hidup wanita itu berakhir di tangan regu penembak mati pada tahun 1980.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Perlukah hukuman mati bagi para koruptor khususnya wanita?
"Mungkin terlalu berat, mungkin cukup seumur hidup saja," kata seorang mahasiswi Vani.
"Pidana korupsi kurang apa. Ada ancaman hukuman mati kalau itu memang berkaitan dengan perekonomian negara seperti sabotase terhadap perekenomoian negara di masa krisis misalnya, bisa saja ditingkatkan. Tetapi saya kira bukan itu," ucap seorang pengamat hukum Refly Harun.
Saksikan rangkuman Kopi Pagi (Komentar Pilihan Liputan 6 Pagi) selengkapnya yang ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Minggu (18/10/2015), di bawah ini. (Vra/Ali)