Sukses

Kopi Pagi: Anomali Pilkada

Pilkada Serentak yang berlangsung bersamaan dengan Hari Anti-Korupsi Internasional telah berakhir.

Liputan6.com, Jakarta - Pilkada Serentak yang berlangsung bersamaan dengan Hari Anti-Korupsi Internasional telah berakhir. Tapi di sejumlah tempat, justru terjadi keanehan karena mereka yang pernah terjerat atau setidaknya berada di lingkaran korupsi, mampu bersaing dan bahkan unggul jadi pemenang.

Airin Rachmi Diany, perempuan cantik petahana dari Tangerang Selatan yang terkepung 2 calon pasangan lain di Pilkada Serentak 9 Desember silam. Ia berkuasa sejak periode 2011.

Sosok Airin moncer setelah suaminya yakni Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, yang juga adik kandung bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, terjerat kasus suap sengketa Pilkada Lebak dan korupsi pengadaan alat kesehatan.

Citra sebagai bagian dari dinasti korup, mau tak mau melekat cukup kuat pada diri Airin. Banyak kalangan menilai, Airin yang berpasangan dengan Benyamin Davny bakal terjungkal dan kandas mempertahankan kursi wali kota.

Tapi fakta di lapangan berbeda. Lihatlah senyum Airin setelah proses hitung cepat selesai. Suara yang diperolehnya lebih dari 50%.

Bersama Benyamin di nomor urut 3, suara Ketua DPD Partai Golkar Tangerang Selatan, yang mendapat dukungan Partai Nasdem, PAN, PKS, PPP, dan PKB ini melesat. Merusak prediksi banyak orang yang begitu yakin keluarga besar Atut di Banten sebagai basis Golkar bakal habis, terutama setelah gaduh kasus papa minta saham.

Kemenangan Airin boleh jadi sebuah anomali. Sebagian besar pemilih, khususnya di Tangerang Selatan, rupanya tak peduli pada urusan yang membelit Atut dan Wawan. Wawan sebagai suami yang jelas-jelas tengah terpuruk pun tak menggoyahkan posisi Airin.

Tapi bukan pilkada namanya kalau tak melahirkan gugatan. Kemenangan Airin pun ditentang 2 lawannnya. Mereka menuding, Airin-Benyamin menang lewat jalan curang yang masif.

Membeli suara untuk menang, bukanlah isapan jempol. Satu desa di Purworejo, Jawa Tengah misalnya, menerima amplop berisi uang sebesar Rp 15 ribu sampai Rp 50 ribu untuk mencoblos pasangan calon bupati dan wakil bupati tertentu.

Uang boleh saja bicara, tapi rakyat sebetulnya juga tidaklah bodoh. Uang diambil, coblos belum tentu.

Antusiasme masyarakat untuk ikut andil dalam Pilkada Serentak tak begitu besar. Orang malas, mungkin juga sudah tak percaya pada partai politik.

Saksikan rangkuman Kopi Pagi (Komentar Pilihan Liputan 6 Pagi) selengkapnya yang ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Minggu (13/12/2015), di bawah ini.