Liputan6.com, Sawahlunto - Penuh lubang dan rongga menjadi potret sebagian wajah daratan yang menyimpan cerita panjang tentang batubara. Cadangan batubara di perut bumi Sawahlunto, Sumatera Barat, diyakini menyimpan lebih dari 100 juta ton. Jumlah yang cukup untuk menyangga kehidupan warganya.
Berkutat di dalam perut bumi, Nurdin, warga Sawahlunto, bertaruh nyawa. Upah borongan Rp 250 ribu per hari, dianggap cukup mengimbangi risiko yang harus dihadapi.
Baca Juga
Menambang sejak duduk di bangku SMP, ia harus bersahabat dengan panas dan lembabnya lorong bawah tanah yang rata-rata menghujam ratusan meter.
Advertisement
Katrol sederhana dari truk bekas menjadi alat paling modern di lahan ini. Pilihan terbaik menarik lori dari dalam perut bumi seberat 1 ton batubara.
Tertimpa lori, longsor, hingga ledakan akibat gas metana, adalah sederet bahaya yang mengancam keselamatan petambang rakyat.
Kondisi berbeda dijumpai di lubang tambang batubara milik PT Bukit Asam. Selain hasil tambang, keselamatan pekerja juga jadi fokus perhatian.
Material penyokong lubang tak cuma seadanya. Kualitas udara pun dijaga.
Keadaan di bawah tanah sulit diprediksi. Di beberapa titik lokasi, petambang mesti menembus bongkahan besar batu sebelum sampai pada lapisan cadangan batubara.
Metode peledakan untuk menembus lapisan keras lazim dipakai.
Bukit asam tak lagi beroperasi di Sawahlunto. Penyebabnya harga acuan batubara kini tak sebanding dengan ongkos produksi jenis tambang dalam.
Sawahlunto lekat dengan batubara. Sejarah panjang bermula pada tahun 1867, setelah petualangan geolog asal Belanda, Willem Hendrik De Greeve. Temuan De Greeve mencengangkan pada saat itu.
Kandungan deposit batubara di sekitar Sungai Ombilin, Sawahlunto, mencapai 205 juta ton.
Lubang Mbah Suro, lubang yang dibangun pada masa Hindia Belanda merekam jejak kekayaan batubara di bawah bumi Sawahlunto.
Sebuah lubang merekam perih laranya para kaum pekerja paksa. Kaum tahanan pemerintahan Hindia Belanda yang didatangkan dari Pulau Jawa dan daerah lain yang disebut orang rantai.
Penambangan emas hitam di Sawahlunto mulai beroperasi pada tahun 1891. Nilai investasi yang ditanamkan Kerajaan Belanda ketika itu sangat besar, 20 juta gulden atau setara dengan Rp 150 miliar.
Jalur kereta api sepanjang 100 kilometer menghubungkan Sawahlunto dengan Pelabuhan Teluk Bayur, Kota Padang.
Lokomotif terbaru ketika itu didatangkan. Mak Itam, lokomotif keluaran Jerman yang kini menjadi ikon setelah dibangunkan dari tidur panjang.
Batubara membuat Sawahlunto menjadi magnet bagi kaum pendatang di awal abad 20.
Kebutuhan akan pangan meledak. Memaksa Belanda membangun pusat pengolahan makanan yang kini menjadi museum gudang ransum.
Di sinilah pemenuhan pangan seluruh para pekerja tambang dan warga masyarakat, termasuk untuk orang Belanda.
Kejayaan batu bara di masa kolonial itu kini tinggal kenangan. Apalagi, dengan harga batubara yang terus anjlok.
Saksikan riwayat Sawahlunto, yang kaya akan emas hitamnya yang mencengangkan pada masanya dalam Potret Menembus Batas, Senin (12/9/2016), di bawah ini.