Sukses

Potret Menembus Batas: Apa Kabar Batu Akik?

Pesona batu akik memang tidak pernah pudar. Pendar warna-warni yang masih dirindukan.

Liputan6.com, Jakarta - Ditempa jutaan tahun dan jauh di dalam perut bumi. Aneka warna berpendar, pesona magis memancar. Batu akik, hiasan estetika peradaban.

Tak selamanya kemilau batu akik menyihir mata pecintanya. Siklus turun naik berlaku juga dalam kamus batu akik dan batu mulia.

Kini pengunjung dan peminat batu mulia atau batu akik pun tak lagi berjejal di sentra penjualan batu mulia terbesar di Asia Tenggara, Jakarta Gems Center (JGC). Angka penjualan di tempat tersebut menukik tajam.

Kondisi ini dirasakan pedagang yang telah membuka kios selama 24 tahun, Bachtiar Effendi. Bahkan menurut pria yang biasa disapa Ibey ini, lebih mengenaskan ketimbang krisis ekonomi 1998.

"Sepi ini sangat jauh, omzet sangat jauh. Yang dulu kita boleh dibilang satu hari bisa dapat puluhan juta, ya minimalnya juta-jutaan lah. Sekarang satu minggu sejuta aja kita payah dapat. Bahkan ada sebagian kawan, jangankan satu minggu, satu bulan pun kadang-kadang enggak dapat duit," kata Bachtiar.

Kegairahan mengoleksi kilau batu alam mulai memudar. Padahal, ketika booming batu akik dua tahun lalu, jumlah pedagang di Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta Timur, menembus angka lebih dari seribu.

Ketika itu banderol batu akik melawan akal sehat. Sebuah cincin bisa dihargai ratusan juta rupiah. Perputaran uang bahkan bisa mencapai Rp 10 miliar per hari.

Tak cuma di Ibu Kota, demam batu akik juga merambah ke seluruh daerah. Tak ingin ketinggalan meraup rezeki dari tren akik, kios-kios dadakan menjamur hingga di pinggir-pinggir jalan. Batu akik pun jadi topik obrolan paling hangat hingga malam menjelang. Akik bukan sekadar mimpi.

Di tebing-tebing Tanjung Gulao, Maluku Utara, terdapat 400 lubang menganga. Targetnya adalah batu bacan, batu semi-mulia berjenis krisokola kalsedoni. Permintaan tinggi setahun lalu mendongkrak harga bongkahan batu bacan hingga ratusan juta rupiah per kilogram.

Salah satu jenis batu populer lainnya adalah panca warna. Batu yang berasal dari perut bumi Bungbulang dan Caringin di Garut bagian selatan, Jawa Barat. Satu nama istimewa di mata penggemar batu mulia menjadi milik keluarga edong.

Batu berkilau yang bisa muncul hitungan minggu, tetapi tak jarang berbulan-bulan. Saat batu akik menjadi fenomena, tenaga dan peluh terbayar oleh harga yang kerap di luar logika. Satu kilogram bongkahan kualitas rata-rata dihargai Rp 5 juta.

Ketika itu Unang dan keluarga Abah Edong lainnya lebih mengakrabi mesin pemotong dan gerinda ketimbang bajak dan cangkul. Namun seiring meredupnya tren batu akik, sawah dan ladang kembali jadi sumber mata pencaharian.

Naik turunnya tren batu akik ini sejatinya lumrah buat para petambang di Bungbulang dan Caringin, Garut. Sebab keluarga Edong dan para penambang di wilayah itu sudah menambang akik sejak 30 tahun lalu.

Dua Kecamatan di Kabupaten Garut, Bungbulang dan Caringin, memang punya nama kondang di kalangan pecinta batu akik. Namun setelah fenomena batu mulia meredup banyak warga yang sebagian petambang, pengrajin, dan pedagang terkena imbasnya.

Romi salah satu di antara yang terpukul. Menjadi ojek sepeda motor jadi pilihan untuk menambah pemasukan di sela-sela menjaga toko cincin milik majikan.

Pemesan batu cincin tak lagi marak. Mesin pemotong dan penghalus batu pun mangkrak. Romi tak lagi bisa menuangkan kreativitasnya memunculkan kilau indah batu khas Garut di pojok Pasar Bungbulang.

Tahun lalu, ketika batu akik menjadi fenomena di masyarakat, kondisi ini berbanding 180 derajat. Jasa Romi banyak dicari pecinta batu akik. Sebab ia piawai dalam menaksir jenis, warna, dan urat batu akik. Kini Romi pun berharap tren batu akik kembali meledak.

Terlalu banyak jenis, merebaknya batu palsu, dan harga di luar nalar. Inilah yang menurut Sujatmiko turut berperan menurunkan minat para pecinta batu akik. Tapi bukan tak mungkin batu akik menjadi primadona lagi untuk ekspor dan raja di negeri sendiri.

"Mungkin bergairahnya itu bukan seperti yang kemarin, tetapi upaya ada. Nah sekarang ini, sesudah redup gara-gara terlalu menggebu-gebu, yang harus dipersiapkan mulai lagi demam batu mulia di kalangan atasan," ujar Sujatmiko.

Buat ratusan petambang di Garut dan di daerah lain, batu akik masih menjadi magnet penambah pemasukan. Abdul Rojak misalnya, palu masih diayunkan, pahat tetap ditancapkan. Bergantian bersama sembilan rekannya, Rojak masih berharap besar batu panca warna ditemukan.

Pesona batu akik memang tidak pernah pudar. Pendar warna-warni yang masih dirindukan.